Sebenarnya, pria itu enggan untuk masuk ke apartemen yang bahkan belum pernah dijamah kakinya sejak memutuskan untuk membeli apartemen itu setahun yang lalu. Hanya saja dia harus mengambil beberapa barang karena sudah ada sebuah keluarga kecil yang akan menyewanya.
Tadinya, dia hendak menjual apartemen itu namun sang kakak bersikeras untuk disewakan saja. Kalau dipikir, solusi yang diberikan sang kakak adalah solusi terbaik. Oh, tidak. Semua bukan karena uang, pria itu hidup dengan uang yang terus beranak-pinak. Semua karena satu alasan yang mendasari pria itu membeli satu unit di Brera Apartments.
Pria itu menempelkan kartu akses untuk membuka pintu, seorang wanita menyambutnya dengan senyum hangat. Lengkap dengan celemek dan aroma masakan rumah yang menggugah selera.
Tanpa melepas alas kaki, pria itu masuk ke dalam. Menatap gerakan sang wanita yang sibuk menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Sayangnya, semua hanya ilusi. Tidak ada siapa pun di sana, hanya dirinya seorang.
Senyum tipis terlukis di wajahnya yang lelah, ilusi itu kembali datang. Dengan dua cangkir cappuccino hangat di tangan, wanitanya mengajak pria itu untuk melihat pemandangan sore hari dari atas balkon. Duduk berdua, menikmati udara musim dingin di sore hari. Dari atas sana, mereka bisa melihat penampakan Duomo di Milano yang tinggi menjulang. Gereja yang seharusnya menjadi tempat mereka mengikat janji suci.
Duomo di Milano termasuk dalam jajaran gereja terindah di dunia. Begitu pula menjadi gereja impian wanitanya untuk menyerahkan hidup pada pria itu. Hari ini, mereka seharusnya telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Merayakan malam pergantian tahun sebagai pasangan keluarga muda yang tengah di cumbu asmara.
"Aduh!" Pria itu tersentak, melangkah cepat menuju kamar mandi.
Mesin cuci mereka rusak, membuat mereka menginjak-injak pakaian dalam ember bersama karena terlalu banyak pakaian kotor menumpuk. Wanitanya mengeluh kesakitan saat air sabun terciprat mengenai mata. Pria itu menggulung lengan piyama, membantu meniup mata kanan wanitanya dengan penuh rasa sayang. Lagi-lagi, semua hanya ilusi.
Pria itu memilih apartemen dua kamar untuk mereka tinggali setelah menikah, satu kamar untuk anaknya kelak. Pria itu tersenyum, impiannya terlalu jauh. Jika kau melihat masa depan di mata orang yang kau cintai, tentunya akan membuatmu memimpikan banyak hal indah bersamanya, bukan?
Langkahnya gontai menuju kamar utama. Ada dua patung di sana, satu memakai setelan jas dan yang satu memakai gaun pengantin tanpa lengan dengan bagian bawah sedikit mengembang. Terlihat sangat indah dengan kalung mutiara melingkar di leher patung, tapi akan jauh lebih indah jika wanitanya yang memakai gaun itu.
Pria itu tak henti terpesona saat tirai dibuka, menampilkan wanitanya dalam balutan gaun pengantin yang sangat indah. "Bagaimana menurutmu?" tanyanya.
"Cantik." Tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan betapa indah wanitanya dalam balutan gaun berwarna putih bersih itu.
Wanita itu berdecak kesal. "Kau selalu bilang cantik. Tidak adakah hal yang menarik perhatianmu? Mungkin kau tidak suka dengan gaun yang terlalu terbuka atau terlalu banyak ruffle?"
Pria itu tertawa, wajah kesal calon istrinya merupakan wajah paling menggemaskan dalam hidup. "Pada kenyataannya kau memang cantik, tanpa berpakaian pun kau juga terlihat cantik."
Matanya melebar, rona merah muncul di atas pipinya. Wanitanya menutup tirai kasar, membuat pria itu tertawa penuh kemenangan.
Barang-barang yang harus dia bereskan ada di kamar utama. Semua barang yang menyangkut wanitanya harus dipindahkan, mungkin akan dia simpan di salah satu kamar di rumahnya.
Terdapat sebuah cermin panjang di sudut kamar, posisinya di sebelah nakas. Wanitanya selalu tampil modis kapan pun dan di mana pun, meski hanya menggunakan piyama. Tangannya terulur mengambil bingkai foto, dua orang tersenyum di depan Disneyland Tokyo. Bagaimana bisa wanita itu tersenyum lebar sedangkan dirinya jatuh terpuruk selama satu tahun?
Disneyland, tempat di mana semua bermula. Pria itu melamarnya saat mereka tengah antre untuk membeli minum. Saat itu musim panas, teriknya matahari mampu membuat mereka mudah merasa haus.
"Apa yang kau lakukan?" tanya wanita itu saat melihatnya tiba-tiba berlutut dengan satu kaki, di tengah puluhan orang yang mengantre. Wanita itu melihat sekeliling, merasa tidak enak meskipun giliran mereka memesan juga masih lama.
Pria itu mengeluarkan sebuah kotak, berisi sebuah cincin yang harganya tidak terlalu mahal. Wanitanya suka sekali mengomel terhadap sesuatu yang mahal. "Aku ingin mengikatmu dalam hidupku, menjalani kehidupan bersama hingga kita tua dan dipisahkan oleh maut."
"Astaga, bagaimana bisa kau melamar seorang wanita dengan kalimat seperti itu?"
"Ya karena hanya kau yang akan menjadi istriku."
"Ck, tidak bisakah kau melamarku dengan sedikit romantis?" Ada penekanan dalam kata romantis di sana.
"Kau mau jadi istriku atau tidak? Kakiku kram."
Sebenarnya wanita itu kesal, dia membayangkan dilamar dengan penuh keromantisan. Bukan dilamar saat sedang antre membeli minum di cuaca terik. Tapi yang melamarnya adalah sang kekasih. Dengan cara apa pun dia melamarnya, tetap saja wanita itu akan mengangguk.
Pria itu menatap dua cincin yang tersemat di jari yang berbeda. Tangan wanitanya begitu mungil, beruntunglah dia memiliki tangan yang besar sehingga mampu menggenggam tangan wanitanya dengan kuat. Namun pada akhirnya, sekuat apa pun dia menggenggam tangan wanitanya, akhirnya terlepas juga.
Di saat orang-orang berkumpul bersama keluarga di halaman belakang, menyiapkan berbagai macam daging untuk dibakar dan kembang api, pria itu justru berdiri diam di pinggir sungai Eisack yang letaknya berada di dekat kota Bolzano. Menatap kosong hamparan sungai hening tak beriak.
Di sungai itu, wanita yang dicintainya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Tenggelam dengan tangan dan kaki terikat, luka lebam di wajah, dan memar di beberapa bagian tubuh. Semuanya terekam jelas dalam ingatannya, rasa sakit dan hancur menyelimuti pria itu.
Tahun lalu, seminggu sebelum malam pergantian tahun, semua terjadi tanpa aba-aba. Wanitanya diculik oknum tidak bertanggung jawab. Ada pemberontakan besar di Milan, mereka menculik para wanita dan anak kecil yang mereka jumpai di jalan, membawanya entah ke mana sebagai tanda pemberontakan.
Pria itu telah melakukan berbagai cara, meminta bantuan polisi di seluruh Italia untuk mencari wanitanya. Yang ada dipikirannya kala itu, sang kekasih harus selamat apa pun yang terjadi. Tidak hanya kepolisian, FBI juga dikerahkan. Hingga tepat pukul dua belas dini hari pada malam pergantian tahun, kabar yang tak pernah ingin di dengar pun muncul. Pria itu merasa gagal, tidak menjaga wanitanya dengan baik, seseorang dalam masa depannya menghilang, tak ada pijakan untuk menggapai mimpi masa depan bersama. Semuanya hancur, meninggalkan perasaan penuh luka yang mungkin tak akan terobati.
Pria itu melepas dua cincin yang tersemat di jari, menatapnya di bawah sinar bulan. Dan ketika suara kembang api terdengar, dilemparnya jauh-jauh kedua cincin itu ke dalam sungai.
Jangan salah paham, bukan berarti dia akan melupakan wanitanya. Dia hanya ingin kembali menjalani hidup setelah satu tahun terpuruk, sedangkan wanitanya akan tetap bersemayam dalam hati. Hadirnya dua cincin itu selalu membuatnya terjebak pada mimpi yang takkan pernah terwujud.
"Aku, Aiden Luke, menerimamu sebagai istri. Mengasihimu dalam suka maupun duka, hingga maut memisahkan," ucapnya parau.
Dalam langkah menuju kehidupan baru, ada sedikit kelegaan di dalam sana. Bagi Aiden, masa depannya hanya ada dalam wanita itu. Cintanya hanya untuk wanita itu.
"Aku, Skye Cooper, menerimamu sebagai suami. Mengasihimu dalam suka maupun duka, hingga maut memisahkan." Langkah Aiden terhenti, dirinya menoleh ke belakang. Wanitanya ada di sana, berdiri menunggunya dengan senyum hangat yang membuatnya rindu.
"Aku mencintaimu, Sayang." Air mata menerobos keluar, semua rasa rindu tumpah dalam derai air mata.
Wanitanya kini benar-benar pergi...
Komentar
Posting Komentar