Judul : LAURA Sendiri
Penulis : Mercy Sitanggang
Penerbit : Grasindo
ISBN : 978-602-251-650-7
Harga : Rp 25.000 (gramedia.com)
Oke, jadi mulai sekarang aku akan mengubah gaya bahasa untuk review menggunakan gaya bahasa yang biasa aku gunakan dalam menulis novel. Formal? Nggak juga. Semi-formal? Bisa dibilang seperti itu. FYI, di novel aku nggak pernah pakai kata "nggak", selalu pakai kata "tidak".
Aku ini tipikal orang yang suka menimbun buku tapi bacanya nanti, ketika di kondisi masih banyak waktu luang. Ya, seperti sekarang ini. Aku beli novel ini–kalau nggak salah ya–waktu ada obral novel terbitan Gramedia jadi 30 ribuan. Aku beli 3 novel, salah satunya ini.
Jujur, saat itu aku hanya asal ambil karena keburu buka toko. Hampir 4 tahun berlalu, baru aku baca novelnya. Cover-nya sendiri minimalis, tidak banyak ornamen, monochrome ya jatuhnya. Untuk tulisan nama penulis, judul, dan logo penerbit ada sentuhan efek emboss yang membuatnya sedikit naik level dari sederhana.
Aku bukan orang yang tertarik dengan cerita yang menggunakan bahasa "loe, lu, gue, gua" dan lainnya. Aku agak kaget waktu baca novelnya karena memakai bahasa anak remaja pada umumnya, untungnya masih bisa tertutupi dengan alur cerita yang ... Wah! Dan nggak sepenuhnya pakai "lu, gua", aku bersyukur akan hal itu haha.
Seandainya sosok Laura ini ada dalam dunia nyata, mungkin dia akan menjadi orang yang hidupnya paling hancur dan berantakan. Kenapa? Penderitaan yang dia alami datang bertubi-tubi, seakan nggak memperbolehkan Laura untuk hidup bahagia.
Laura hanya tinggal bersama ayahnya, ibunya meninggalkan mereka berdua saat Laura masih kecil. Entah bagaimana, Laura bermimpi untuk menjadi seorang penyanyi. Di temani oleh sahabatnya, Jiwa, akhirnya Laura berhasil menjadi penyanyi.
Ayah Laura menulikan telinga dan membutakan mata bahwa putrinya memang benar-benar berbakat. Dibandingkan melihat Laura bernyanyi, sang ayah justru memilih untuk mabuk. Saat konser perdana Laura pun, sang ayah lebih memilih untuk tidak hadir. Padahal, sang ayah adalah orang yang paling Laura ingin lihat dalam konsernya.
Meskipun selalu bertengkar, Laura tetap mengingat hari ulang tahun ayahnya dan pulang untuk merayakan. Di saat sang ayah mulai menerima impian Laura, sang ayah justru pergi meninggalkan Laura untuk selamanya. Tepat di hari ulang tahun sang ayah, dengan meninggalkan sebuah rahasia besar.
Belum lagi dengan kisah cinta Laura dan Jiwa, sahabat masa kecil yang sebenarnya saling mencintai hanya saja enggan untuk mengakui. Ketika salah satu dari mereka mau mengakui, ada aja orang ketiga yang datang, mendorong perasaan itu ke jurang kebimbangan.
Sampai di satu titik mereka saling mengakui akan perasaan masing-masing, memutuskan untuk hidup bersama. Tapi alam semesta berkehendak lain, mereka kembali berpisah dan kali ini tanpa adanya pertemuan kembali.
"Selama ini aku capek mengenang penghambaan pada cinta, cinta yang hanya menoleh sesaat lalu pergi berlari kencang, bahkan ketika badan menjadi pertanggung jawaban maslihat cinta. Aku tidak mau berkenalan dengan cinta lagi kalau hanya menuntut sesuatu."
Kalau aku jadi Laura pun, aku pasti akan mengalami depresi yang berkepanjangan, bahkan rasa ingin bunuh diri pun pasti akan muncul. Satu per satu ditinggal oleh orang tersayang, tanpa ada jeda. Selalu hancur dalam kisah percintaan sepanjang hidup, seperti diselingkuhi, atau pacar kamu ternyata seorang gay. Ketika seseorang ingin menikahimu dan mencintaimu penuh ketulusan, nyatanya ikut pergi dan tak ada istilah pernikahan dalam hidupnya. Siapa yang nggak stres menjalani hidup seperti itu?
Di akhir cerita, kamu akan tahu bahwa seseorang yang sedang depresi bisa melakukan apa saja. Laura mengurung diri sejak hari pernikahannya batal, kamarnya berantakan. Laura kembali minum minuman beralkohol dan berhalusinasi bahwa calon suaminya masih hidup. Kariernya sebagai seorang penyanyi di ambang kehancuran, orang-orang yang peduli padanya pun juga nggak tahu harus berbuat apa. Hal ini yang membuat Laura mati rasa, tidak percaya lagi akan cinta dan laki-laki.
Aku kasih rating 4.0/5.0 untuk novel ini.
Ceritanya bagus, tapi aku nggak menyarankan kamu baca novel ini saat kamu sedang depresi. Takutnya malah memperparah kondisi kamu karena emosi yang nggak stabil. Hanya satu yang nggak aku suka, novel ini masih banyak typo. Ya mungkin karena buku lama, buku-buku terbitan sekarang juga typo-nya sudah lebih sedikit.
Sticky notes warna kuning ini fungsinya untuk typo, kalau yang pink sih buat quotes 🤣
Aku nggak tahu novel ini masih ada atau nggak di store, tapi kalau mau beli bisa cek gramedia.com aja.
Komentar
Posting Komentar