Kisah yang kita berdua buat hilang
sia-sia. Kita berpisah dengan begitu mudahnya.
Bunyi alarm menggema. Wanita itu bangun
dari tidurnya dan tersenyum. Dia menoleh ke kalender, ada tanda hati kecil
berwarna merah di sana. Tepat di tanggal hari itu. Ya, hari itu adalah hari
yang sangat istimewa dan dia sudah tidak sabar untuk merayakannya. Makan malam di
kantor sang kekasih dengan makanan favoritnya sambil menonton Netflix, dia
sudah lama menginginkan hal itu.
Ashley bergegas mandi. Dia harus
membeli beberapa bahan masakan serta camilan untuk menemani mereka menonton
Netflix nanti. Hari itu adalah hari yang sudah lama dia tunggu, menghabiskan
waktu berdua dengan kekasih hati. Sejak usahanya semakin sukses, kekasihnya
juga semakin sibuk mengurus ini dan itu. Waktu untuk berdua pun hilang.
Jangankan untuk bertemu, untuk bertelepon ria setiap malam juga sudah tidak
bisa dilakukan.
Seakan menjadi sebuah kewajiban, Ashley
mengirimkan pesan kepada kekasih hati. Padahal dia tahu, pesan yang
dia kirimkan pasti akan lama dibalas. Tapi mau bagaimana lagi? Ashley sudah
terbiasa dengan hal itu.
Sore harinya, Ashley telah
menghubungi salah satu sopir pribadi sang kekasih untuk menjemputnya di
apartemen. Memang masih terlalu sore, tapi Ashley sudah tidak sabar untuk
bertemu dan memeluk kekasihnya. Melihat Ashley keluar dari gedung, laki-laki paruh
baya itu langsung membukakan pintu dan menyapa Ashley.
Jalanan yang tidak terlalu ramai
serta cuaca yang sangat mendukung, semesta saja ikut membantu menyempurnakan
rencana Ashley. Dalam perjalanan, Ashley termenung. Mengingat kembali awal-awal
pertama hubungan mereka. Ketika sang kekasih masih merintis usahanya yang
sekarang. Setiap akhir pekan, sang kekasih akan pergi ke apartemen Ashley untuk
makan malam bersama dan diakhiri dengan menonton Netflix. Setiap malam selalu
menghubunginya sebelum tidur, selalu menanyakan bagaimana hari Ashley. Senyum
merekah di wajah itu, seakan sekarang sudah mustahil untuk bisa kembali seperti
dulu. Hari itu adalah hari jadi mereka yang ketiga, Ashley akan menghadirkan masa-masa
itu lagi.
Satu jam perjalanan, Ashley tiba di
kantor sang kekasih. Para pegawai yang berpapasan dengannya menyapa wanita itu
yang dibalas senyuman ramah. Ashley masuk ke dalam lift, bersama dengan
beberapa pegawai lain. Beberapa pegawai keluar lebih dulu karena ruangan sang
kekasih berada di lantai paling atas. Ketika lift terbuka, ada meja sekretaris
sudah menunggu.
“Selamat sore, Mrs. Ashley,”
sapa Diana, sekretaris pribadi sang kekasih.
“Sore.” Ashley menjawab singkat
dengan senyum. Dirinya sudah tidak sabar untuk bertemu sang kekasih.
“Hai, Sayang,” ucapnya saat membuka
pintu. Senyum yang dari pagi terus merekah perlahan memudar seiring dengan
gerak sang kekasih mengambil beberapa dokumen dan memakai jas. Kekasihnya tidak
pernah memakai jas jika berada di ruang kerjanya. Hanya kemeja dengan satu
kancing bagian atas dibiarkan terbuka.
“Hai, Sayang. Akhirnya kau datang.”
Sang kekasih memasukkan dokumen-dokumen tadi ke dalam tas kerjanya. “Aku minta
maaf. Malam ini aku harus terbang ke Jepang, ada pertemuan penting besok.”
“Tapi ... kau sudah janji padaku
untuk merayakan hari ini. Aku bahkan memasak makanan favoritmu.” Ashley
menunjukkan paper bag dari brand pakaian ternama.
Sang kekasih mendekat, meletakkan
tangannya yang besar dan hangat di bahu Ashley dan mencium bibir wanita itu.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku juga melakukan ini semua untuk masa depan kita
nanti. Aku mencintaimu.” Sang kekasih tersenyum dan mengecup kening wanita itu
sebelum pergi.
Benturan ringan dari pintu tertutup
terdengar. Ashley bergeming, tak tahu harus bagaimana. Wanita itu tahu apa
risiko yang akan dia terima ketika sang kekasih mulai sibuk, dan dia berusaha
untuk memahami hal itu. Mungkin dia harus bersabar lagi, menunggu waktu yang
tepat untuk menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Tapi sampai berapa lama lagi
dia harus bersabar?
-ooo-
Ditemani rintik hujan, Ashley duduk
diam di dalam mobil. Gurat kekecewaan terpancar jelas di wajahnya. Dia
menggambar bentuk hati di kaca mobil dan menulis inisial nama mereka berdua.
Mungkin, hari itu akan menjadi akhir dari hubungan mereka.
Ashley tidak bisa selalu menerima janji
yang selalu diingkari. Setiap kali berjanji untuk bertemu, setiap kali itu juga
janji itu dilanggar karena kesibukan. Untuk menebus rasa bersalahnya, sang
kekasih selalu memberikan hadiah bernilai jutaan untuk Ashley. Tapi bukan itu
yang Ashley inginkan.
Ashley turun dari mobil dan masuk ke
dalam gedung di depannya. Pandangannya lurus ke depan, diliputi rasa kekecewaan
yang besar. Siang tadi, kekasihnya menelepon untuk bertemu dan mengajak makan malam
bersama. Ashley mengiyakan dengan bertanya apakah ajakan itu akan dibatalkan?
Sang kekasih menjawab tidak. Lalu beberapa jam yang lalu, kekasihnya mengirim
pesan bahwa mereka tidak jadi makan malam karena ada rapat mendadak. Apa kalian
sanggup berada di posisi Ashley?
Diana langsung berdiri saat melihat
Ashley berjalan menuju ruangan sang kekasih. “Maaf, Mrs. Ashley. Tapi Mr.
Anthony sedang tidak ada di ruangan. Beliau sedang ada di ruang rapat.”
“Aku akan menunggu di dalam.”
“Baik. Apa Anda ingin minum sesuatu?” tanya Diana sedikit khawatir dengan raut wajah Ashley. Tidak biasanya
Ashley datang dengan wajah seperti itu, bahkan hampir tidak pernah.
“Tidak perlu.” Sebelum Ashley
benar-benar masuk ke dalam ruangan Anthony, wanita itu berbalik. “Tolong jangan
beritahu Anthony kalau aku menunggu di dalam.”
Sesuai dengan pesan Ashley, Diana
tidak memberitahukan keberadaan Ashley saat Anthony selesai rapat. Laki-laki
itu menyuruh Diana untuk pulang sedangkan dia akan menyelesaikan beberapa
pekerjaan yang tadi sempat tertunda.
“Ashley?” ucap laki-laki itu terkejut
saat melihat Ashley duduk diam di sofa sambil menatap langit malam. “Kau tidak
bilang jika mau ke sini.”
“Bagaimana rapatmu hari ini?” tanya
Ashley, dengan pandangan telah terfokus seutuhnya pada sang kekasih.
“Cukup melelahkan. Ayo, aku antar kau
pulang. Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, jadi untuk malam ini aku
tidak bisa meneleponmu.” Anthony mengambil kunci mobil yang dia letakkan di
dalam lemari.
“Akan sampai kapan?” Pertanyaan
Ashley membuat Anthony bergeming, tidak mengerti dengan maksud pertanyaan
wanita itu. “Sampai kapan aku harus menunggu untuk bisa menghabiskan waktu
denganmu? Sampai kapan aku harus bersabar dengan semua kesibukanmu? Sampai
kapan aku bisa ... mendapatkan Anthony-ku kembali?”
Anthony yang mulai tahu ke mana arah
pembicaraan mereka pun perlahan mendekati Ashley. Memberikan penjelasan dan
meminta Ashley untuk bersabar sebentar lagi menghadapi segala kesibukannya. Anthony
juga tidak ingin seperti ini, tapi dia juga tidak ingin membiarkan Ashley hidup
dalam kesengsaraan saat mereka menikah nanti. Dia bekerja keras untuk kehidupan
mereka di masa depan. Anthony ingin hidup Ashley aman dan bahagia bersamanya.
“Anthony, apa kau tahu? Terbesit
pikiran untuk selingkuh dalam otakku. Kau tidak akan tahu jika aku pergi berdua
dengan laki-laki lain karena kau terlalu sibuk. Yang bisa kau lakukan hanyalah
memberiku uang dan barang-barang tidak berharga untuk menebus kesalahanmu. Jika
aku mau, aku bisa saja membodohimu.”
Anthony terkejut mendengar pernyataan
Ashley. Wanita itu adalah wanita yang baik, tidak mungkin selingkuh di belakang
Anthony. Laki-laki itu percaya bahwa Ashley tidak akan mungkin mengkhianatinya.
“Kau tahu kenapa aku tidak
melakukannya? Karena aku tidak mau mengkhianati kepercayaanmu padaku.”
“Ashley.” Anthony tidak bisa
berkata-kata, rasa sakit di dadanya semakin besar melihat air mata menetes di
wajah wanita itu.
“Aku tidak tahu harus menunggu sampai
berapa lama lagi. Aku tidak tahu apakah aku bisa bersabar atau tidak. Manusia
memiliki batas kesabaran masing-masing.”
“Hentikan, Ashley.”
“Mungkin bukan aku yang seharusnya
menemanimu, Anthony. Aku tidak cukup sabar untuk menahan kerinduan seorang
diri.”
“Tidak, Sayang. Hentikan.” Anthony
berlutut, menggenggam tangan Ashley untuk tidak mengatakan hal yang tidak
pernah ingin dia dengar dalam hidup.
“Aku lelah, Anthony.” Kedua mata
Ashley tak sanggup menahan desakan air mata untuk keluar.
“Tidak, Sayang. Jangan seperti itu.
Aku minta maaf.”
Sayangnya, Ashley sudah tidak
memiliki harapan dalam hubungan mereka. Wanita itu melepaskan genggaman tangan
Anthony dan melangkah keluar, meninggalkan Anthony dengan rasa sakit dan
perasaan menyesal atas sikapnya selama ini.
Ashley tenggelam dalam pikiran. Tidak
ada lagi rencana masa depan untuk mereka berdua, tidak ada lagi tujuan untuk
diraih bersama. Kisah cinta yang mereka jalani berakhir sia-sia.
Komentar
Posting Komentar