Begitu lambat waktu yang kulalui sendiri, hukuman kesalahan ini terlalu berat.
“Bianca!” Bianca yang saat itu berusia 17 tahun menoleh, menampilkan senyum lebar saat sang kekasih datang menghampiri.
Sang kekasih memberitahukan sebuah berita besar untuk mereka berdua. Laki-laki itu berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan S1-nya di luar kota. Bianca ikut senang mendengar berita itu dan meyakinkan sang kekasih bahwa mereka akan baik-baik saja. Meyakinkan sang kekasih untuk bersama-sama berjuang dari bawah dan menjadi orang besar di masa yang akan datang.
“Aku berjanji tidak akan membeli parfum lagi dan akan mengunjungimu setiap bulan,” janji Bianca pada sang kekasih. Bianca memiliki kebiasaan menghabiskan uangnya untuk membeli parfum meskipun parfum gadis itu masih ada. Pernah suatu hari Bianca membeli dua botol parfum padahal di kamarnya masih ada tiga botol parfum yang baru dibelinya seminggu lalu.
“Maukah kau mengantarku ke stasiun minggu depan? Aku ingin kau ada di sana,” pinta sang kekasih. Gadis itu mengangguk dengan mantapnya. “Kau berjanji akan datang, ‘kan?” tanyanya meyakinkan.
“Ya, aku berjanji.” Bianca memeluk sang kekasih dengan erat.
Tak pernah sedikit pun terpikirkan oleh Bianca bahwa dirinya akan menjalani hubungan jarak jauh dengan sang kekasih. Mereka terbiasa bersama, menghabiskan akhir pekan bersama. Apakah dia bisa menjalani hubungan jarak jauh di saat dia merasa terbiasa dengan keberadaan kekasihnya? Apakah dia bisa membiarkan satu tempat dalam hidupnya ditinggalkan oleh penghuninya? Entahlah….
-ooo-
Suara bising tanda kereta akan datang tak sedikit pun mengusiknya, gadis itu masih nyaman duduk sambil menatap kosong khalayak ramai. Pandangannya jeli saat kereta berhenti, berharap menemukan orang yang dicari. Dan ketika tidak menemukan orang yang dicari, gadis itu kembali duduk dan menunggu kereta selanjutnya. Lima tahun berlalu, tidak terasa. Bianca berharap orang yang dicarinya turun dari kereta dan menghampirinya.
Menunggu cinta dari masa lalu….
Bianca sendiri juga tidak tahu apakah laki-laki itu akan kembali, atau masih menganggap Bianca sebagai tempat untuk kembali. Dirinya begitu merindukan laki-laki itu, teramat sangat. Gadis itu akan tetap menunggu di sana karena dia takut, takut jika laki-laki itu datang dan dia tidak berada di sana. Semakin kecil harapan untuk bertemu dengan sang kekasih. Kesalahan kecil namun hukumannya terlalu berat, gadis itu merasakannya. Rasa penyesalan itu semakin dalam dan gadis itu tak henti merutuki diri sendiri, betapa ceroboh dirinya.
Janji hanyalah janji yang diucapkan semata…
Kala itu, Bianca lebih memilih menghadiri acara ulang tahun sahabatnya. Dirinya mengingat menjanjikan sesuatu pada seseorang tapi dia tidak tahu janji apa dan siapa orang yang telah dia janjikan. Menjelang berakhirnya pesta, barulah dia sadar betapa pentingnya janji itu. Segera dia menghentikan taksi dan meminta sang sopir menambah kecepatan lajunya.
"Masih ada waktu,” gumamnya setelah melirik jam tangan. Tapi waktu yang tersisa kurang dari dua puluh menit.
Sesampainya di stasiun, gadis itu berlari ke bagian informasi untuk menanyakan apakah kereta yang ditumpangi kekasihnya sudah berangkat atau belum. Jawaban yang diterima berhasil membuat hatinya hancur bagai disiram timah panas.
Kekasihnya kini sudah pergi…
Hingga saat ini, gadis itu masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Jika dia bisa kembali ke masa lalu, dia akan mengubah semuanya. Mungkin dia tidak akan pergi ke acara pesta ulang tahun sahabatnya, atau mungkin juga dia tidak akan melupakan janji itu. Dia akan dengan senang hati mengantar kepergian kekasihnya dengan senyum.
Berkali-kali pandangannya tertuju pada sebuah kotak berisi jam tangan. Ya, jam tangan pemberian kakeknya itu akan menjadi hadiah untuk kekasihnya. Tapi hingga saat ini laki-laki tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Waktu baru saja berlalu, gadis itu berhenti melihat jam tangannya dan memilih pulang. Besok dia akan datang lagi, menunggu di tempat yang sama. Pandangannya sayu menatap langit, cahaya bulan menyinari wajahnya yang tampak lelah. “Dia tidak datang, tak ada harapan lagi,” gumamnya lirih.
Komentar
Posting Komentar