Langsung ke konten utama

[CERPEN] DIVINE

 




Jujur saja, kehilangan adalah hal yang menyakitkan. Suatu hari nanti, pertemuan pasti akan terjadi lagi meski belum tahu kapan. Untuk saat ini, menyatukan perasaan adalah hal yang bisa dilakukan. Di akhir nanti, semua akan indah.

 

-ooo-

 

Mungkin, Kaylee Mackenzie adalah gadis yang paling beruntung di dunia ini. Untuk bisa mengenyam pendidikan di sekolah terbaik di New York, Kay–sapaan akrabnya–harus mempertahankan kestabilan semua nilai akademiknya. Jika ada satu nilai yang turun, beasiswanya akan dicabut. Kejam? Tapi seperti itulah perjanjiannya. Sukses yang sesungguhnya adalah ketika kau berusaha dan memulainya dari bawah.

Sama seperti yang sudah Kay bayangkan sebelumnya, gadis itu kesulitan mencari teman. Semua siswa dan siswi yang mengenyam pendidikan di sana sebagian besar lahir dari orang tua yang memiliki pekerjaan mapan, berbeda dengan dirinya yang hanya mengandalkan beasiswa. Tapi, gadis itu tidak peduli. Semua makhluk yang bernapas pasti memiliki satu tujuan hidup. Tujuan hidup gadis itu adalah lulus dengan nilai memuaskan, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan mengubah kualitas hidup keluarganya.

Meski begitu, Kay memiliki tiga orang teman yang benar-benar baik. Mereka adalah Reese, Lucy, dan Naomi. Semua berawal saat Kay membantu Reese yang kakinya terluka karena kecelakaan kecil saat mereka pulang sekolah. Awalnya Reese menolak karena otaknya telah dicuci oleh gosip sekolah yang mengatakan hal buruk tentang Kay. Namun semua berubah saat Reese melihat ketulusan dalam mata Kay, dan mereka berteman sejak saat itu.

Tidak hanya sibuk di sekolah, Kay juga selalu sibuk di rumah. Pagi-pagi sekali gadis itu menggantikan tugas sang ibu menyiapkan sarapan karena sang ibu tengah sakit keras, mengalami pengapuran tulang yang cukup parah. Kay tinggal bersama ayah, ibu, dan adiknya. Kedua kakaknya sudah menikah, kakak pertamanya ikut suami tinggal di Queens dan kakak keduanya tinggal di Richmond. Ayah Kay merupakan seorang kurir ekspedisi. Tadinya sang ayah bekerja sebagai seorang bricklayers, hanya saja berhenti dua tahun kemudian karena usianya sudah cukup renta.

“Audney, ayo bangun! Nanti terlambat!” teriak Kay tidak terlalu keras sambil menyiapkan sarapan pagi itu. Kay sibuk menghangatkan roti pemberian Mrs. Diana semalam dan membuat susu untuk sarapan sang ibu. Ayahnya sudah berangkat pagi-pagi buta.

Kay langsung menyeduh susu itu dan meletakkan ke atas baki, lalu membawanya ke kamar sang ibu. “Ibu, ini susunya.” Diletakkannya baki itu dengan hati-hati di atas meja. “Nanti Becca akan ke rumah membawa sup krim kerang untuk makan siang,” lanjutnya. Becca adalah seorang janda beranak satu yang sangat dekat dengan keluarga Kay.

“Audney, seragamnya sudah aku gantung di lemari!” Jarak sekolah adiknya tidak terlalu jauh dari rumah, tidak seperti Kay yang harus naik dua kali subway untuk bisa sampai di sekolahnya. Inilah yang menyebabkan Kay harus berangkat lebih pagi dari teman-teman yang lain.

Setelah semua pekerjaannya selesai, Kay bersiap untuk berangkat. Tak lupa dia berpamitan dengan sang ibu dan berdoa. Tuhan, semoga setiap langkah yang aku ambil adalah pilihan terbaik-Mu, doanya dalam hati sambil membawa tiga keranjang berisi cupcakes.

Ya, Kay membantu perekonomian keluarga dengan berjualan cupcakes. Sebenarnya, sang ibu yang berjualan hanya saja dengan kondisi kesehatan beliau sekarang, Kay yang mengambil alih. Kay juga yang membuatnya berdasarkan resep dari sang ibu. Dua keranjang gadis itu titipkan di toko roti dekat rumahnya dan satu keranjang lagi akan dia titipkan di kantin sekolah. Sebenarnya tidak boleh berjualan di sekolah, tapi ada seorang petugas baik hati yang mengizinkan Kay menitipkan cupcakes-nya dan berpura-pura bahwa bukan Kay yang membuatnya. Kay akan mengambil uang hasil jualan cupcakes setelah jam sekolah berakhir.

Kantin sekolah masih sepi, beberapa di antara petugas tengah menyiapkan menu untuk makan siang. Kay berjalan menghampiri seorang wanita baya untuk menitipkan cupcakes buatannya. “Hai, Elena!” sapa Kay dengan ramah.

“Hai, Kay.” Elena tersenyum dan mengambil keranjang cupcakes Kay dan menatanya sejajar dengan kue-kue pencuci mulut yang lain. “Segelas cokelat panas akan mencerahkan harimu. Kau mau?”

“Tidak usah, Elena. Aku harus segera masuk, ada quiz dari Mr. Paul pagi ini. Total cupcakes-nya ada lima belas buah. Akan aku ambil setelah sekolah selesai. Ah, dan satu lagi. Ada rasa baru, sirup maple. Semoga yang lain menyukainya.” Kay mengambil satu buah cupcakes rasa baru yang ternyata memang sudah Kay siapkan khusus untuk Elena.

“Bagaimana?” tanya Kay setelah Elena mencicipi kue yang menggemaskan itu.

“Percaya padaku, kau harus mengambil studi tata boga untuk jenjang sarjanamu. Kau ada bakat untuk menjadi seorang patissier.” Kay tersenyum lega mendengarnya, percobaannya kali ini berhasil. Selesai dengan cupcakes, Kay pun masuk ke kelas.

 

-ooo-

 

“Kay!” Gadis itu melambai ketika Reese dan dua temannya sudah berada di depan kelas. Kelas mereka berbeda, baru di tingkat ketiga mereka berpisah. Dari tingkat pertama sampai tingkat kedua mereka selalu satu kelas. Meski pun begitu, mereka selalu menyempatkan diri untuk istirahat bersama.

“Ayo ke kantin! Aku sudah lapar,” ajak Lucy yang memang tidak bisa menahan lapar meski hanya satu menit.

“Ayo, aku juga sudah lapar. Ayo, Kay!”

Kay tersenyum sambil menggeleng pelan. “Kalian saja, aku belum lapar.”

“Kay, kami tahu ujian kelulusan sebentar lagi. Tapi bukan berarti kau harus menghabiskan waktu yang tersisa hanya untuk membaca buku dan mempelajari materi. Setidaknya, berikan waktu untuk otak di dalam kepala cantikmu itu beristirahat,” rayu Naomi sambil merangkul bahu Kay dengan erat.

“Bagaimana kalau kita makan di kelas saja sambil menemani Kay belajar?” saran Reese. Semua mengangguk setuju. “Lucy, bisakah kau pesankan makanan?”

Lucy mengangguk. Entah kenapa gadis dengan rambut seharum buah beri itu suka sekali jika disuruh membeli makanan di kantin. Bahkan, gadis itu akan dengan sukarela menawarkan diri untuk membeli camilan saat mereka menginap di rumah Reese. Lucy pun mulai mencatat pesanan teman-temannya.

Seperti itulah siklus pertemanan Kay. Jika gadis itu tidak bisa ikut makan siang di kantin, mereka akan sukarela makan di kelas menemani Kay, dan jika gadis itu tidak membawa bekal, dengan senang hati pula mereka akan membayar makan siang Kay. Terkadang, Kay merasa tidak enak. Suatu hari pernah dia hendak mengembalikan semua uang yang sudah mereka keluarkan untuk membayar makan siangnya, tapi ditolak dengan lembut. Mereka tahu bahwa Kay sedang menabung untuk melanjutkan pendidikan sarjananya. Dan menurut mereka, uang yang mereka berikan untuk Kay tidak sebanding dengan apa yang sudah Kay lakukan untuk tetap berusaha meraih cita-citanya.

Bel tanda istirahat berakhir pun berbunyi, Kay melambaikan tangan sambil tersenyum ketika teman-temannya kembali ke kelas mereka masing-masing. Aura mencekam menyelimuti kelas Kay saat Mrs. Gilbert memasuki ruangan. Mereka akan melakukan presentasi dengan tema yang telah mereka pilih minggu lalu. Oh, tentu saja Mrs. Gilbert tidak akan lupa dengan semua tugas yang sudah beliau berikan. Pernah suatu hari beliau menjanjikan quiz mingguan, tapi di hari-H beliau berhalangan hadir. Tiga hari setelahnya, beliau langsung mengadakan quiz dadakan sebagai pengganti quiz yang tertunda.

So, class, kita ada presentasi hari ini. Untuk kelompok yang sudah siap, bisa maju dengan senang hati,” ucap Mrs. Gilbert saat langkah pertama memasuki kelas Kay hingga beliau meletakkan perlengkapannya di atas meja.

Mrs. Gilbert menatap seisi kelas dengan tangan bersedekap di dada. “Tidak ada yang mau maju? Baiklah, akan aku panggil secara acak.” Wanita baya itu mengambil buku absen dan memilih acak hingga tersebut nama, “Martin Uckerman.”

Martin merupakan siswa pertukaran pelajar dari Italia. Sejak pertama kali menginjakan kaki di sekolah, semua mata tertuju padanya. Rambut hitam khas orang Eropa serta tatapan mata yang tajam menjadi daya tarik tersendiri untuk laki-laki itu. Kulit eksotisnya mampu membuat semua hawa berpikiran senonoh.

Hanya satu yang membuat Kay memperhatikan Martin, laki-laki itu terlalu pintar. Kay pernah satu kelompok dengan Martin saat pelajaran matematika. Ketika Kay butuh waktu beberapa menit untuk mencari jawaban soal yang telah ditentukan, Martin hanya membutuhkan waktu dua menit untuk memecahkan soal itu. Menakjubkan!

Terlalu sibuk dalam pikirannya, Kay tersentak saat namanya dipanggil oleh Mrs. Gilbert. Kay dan dua anggota kelompoknya maju ke depan, menyerahkan flashdisc ke Mrs. Gilbert dan mulai presentasi. “Kami akan membahas tentang Perekonomian Indonesia,” ucap Kay.

Seminggu yang lalu, ayahnya selalu mencari berita tentang Perekonomian Indonesia karena rencananya mereka akan pindah ke negara yang terkenal sebagai negara maritim itu. Tapi tidak jadi mengingat kondisi sang ibu yang tengah sakit dan Kay yang sudah duduk di akhir Sekolah Menengah Atas.

Kay memulai presentasi. Ada tiga bagian berbeda dalam presentasinya dan Kay sudah membagi ketiga bagian itu dengan anggotanya yang lain. Hanya butuh waktu sepuluh menit bagi Kay dan kelompoknya menyelesaikan presentasi. Batas waktu maksimal yang diberikan adalah lima belas menit, namun Kay memilh membuat presentasi yang singkat namun isinya dapat dipahami.

“Sesi pertanyaan di buka. Silakan.” Kay sangat membenci presentasi karena saat dia melakukan presentasi, tidak akan ada yang fokus pada penjelasannya. Tidak ada yang menghargai waktu dan usahanya untuk membuat presentasi, dan gadis itu pun pasrah. “Apa pertanyaanmu, Jeremy?” Kay mengucap syukur karena ada yang memperhatikan presentasinya. Kay menatap Jeremy dengan tatapan penuh rasa terima kasih.

“Seperti yang kita ketahui, tingkat kemiskinan di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Menurutmu, bagaimana solusi untuk mengatasinya?”

Kay mengembuskan napas sebelum menjawab pertanyaan Jeremy. “Semua tergantung dari pemerintah, seperti: 1) Pemberian subsidi yang tepat sasaran. 2) Adanya program pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, baik itu dari segi pendidikan maupun dari segi bantuan kesehatan dan kehidupan yang layak.” Kay mengakhiri jawaban untuk pertanyaan Jeremy.

“Ada yang mau bertanya lagi?” Tak ada tanda-tanda seseorang akan mengangkat tangannya. “Baiklah, aku yang akan bertanya.”

Mrs. Gilbert bangun dari duduknya dan menyandarkan bokong di tepi meja sambil menatap kelompok Kay. “Kaylee Mackenzie. Bagaimana dengan inflasi? Di tahun 2017, inflasi Indonesia mengalami sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya tapi peningkatan ini berdampak pada penduduk berpendapatan rendah yang memicu kemiskinan. Bagaimana pendapatmu?”

Kay melirik dua anggota lain yang berdiri di belakang, mereka berdua tampak berbisik. Sepertinya mereka tidak tahu ingin bagaimana menjawab pertanyaan Mrs. Gilbert, Kay pun demikian. Dia tidak memikirkan pertanyaan seperti itu semalam. Satu menit diam berpikir, Kay pun menjawab, “Ada dua solusi untuk mengatasi masalah inflasi ini. Pertama adalah kebijakan dalam sektor moneter. Bank Indonesia melakukan peningkatan BI rate di setiap akhir bulan yang akan menekan inflasi namun berdampak pada sektor rill. Kedua adalah kebijakan fisikal dalam bidang perpajakan. Hal tersebut diharapkan dapat menurunkan tingkat inflasi yang terjadi.”

Mrs. Gilbert mempersilakan Kay dan kelompoknya kembali ke tempat duduk. Pelajaran Mrs. Gilbert hari itu dihabiskan untuk presentasi.

 

-ooo-

 

Pulang sekolah, Kay mengambil hasil penjualan di toko roti milik Lami. Gadis itu biasa menghabiskan waktu kurang lebih dua jam di sana untuk menunggu seseorang. Orang yang dimaksud adalah rentenir. Ya, ibunya meminjam uang pada rentenir untuk modal usaha. Karena ibunya sedang sakit, mau tidak mau Kay melanjutkan usaha ibunya dan penghasilan yang di dapat dibagi untuk membayar pinjaman. Kay hanya bisa membawa dua puluh persen dari keuntungan penjualannya. Gadis itu mengembuskan napas berat, akan sampai kapan dia hidup seperti ini?

“Kay, tadi nenekku membawakan ayam goreng madu tapi terlalu banyak. Ini untukmu.” Lami menyerahkan sebuah kotak terbungkus kain, aromanya sangatlah lezat.

“Terima kasih. Salam untuk nenekmu.” Kay bersyukur, masih ada orang baik dalam kehidupannya yang menyedihkan itu.

Masih ada beberapa lembar dolar di dalam tasnya, sebagian untuk uang saku dirinya dan sang adik lalu sisanya untuk membeli kebutuhan keluarga. Kay mengingat-ingat lagi bahan apa saja yang habis di rumah. Itu pun tidak Kay beli semua, Kay hanya membeli barang yang memang benar-benar dibutuhkan saja.

“Hai, Thomas!” sapa Kay saat memasuki sebuah mini market yang letaknya tak jauh dari rumah. Kay hanya mengambil roti, susu dan telur. Uangnya hanya cukup untuk membeli itu saja.

“Ada lagi?” tanya Thomas setelah memasukkan barang belanjaan Kay ke dalam paper bag. Gadis itu menggeleng sambil tersenyum.

Kay menyerahkan selembar uang lima dolar untuk membayar barangnya. “Terima kasih, Thom.”

“Tunggu, Kay.” Kay yang hendak melangkah keluar, terhenti. Thomas keluar dari area kasir, masuk ke dalam gudang dan kembali dengan sebuah bingkisan di tangan lalu menyerahkannya pada Kay.

“Apa ini?” tanya Kay saat menerima bingkisan cukup besar itu.

“Aku dengar ibumu sakit. Aku dan beberapa karyawan hanya bisa membantu ini, semoga berguna.”

Terharu, Kay memeluk laki-laki muda bertubuh besar itu. Usia Thomas hanya beda satu tahun dengan Kay. “Terima kasih, Thom.”

Kay pulang sebentar untuk mengantarkan barang belanjaan dan berganti pakaian. Setiap Sabtu malam, Kay bekerja paruh waktu di sebuah dessert café  yang letaknya hanya berjarak beberapa blok dari rumahnya. Kay bekerja di sana hanya di hari Sabtu dan Minggu, itu pun tergantung dari kebijakan manajer di sana. Berhubung hari Sabtu Kay masih ada kelas, Kay baru bisa datang ke café jam enam sore. Tak jarang banyak teman-temannya yang datang ke sana untuk sekadar bersantai ria, beberapa guru pun juga sering dia temui.

Kay yang sedang membersihkan meja bergegas ke kasir saat ada seseorang yang sudah mengantre, gadis itu menyapa orang tersebut dan menanyakan kembali pesanannya. “Satu caramel latte panas. Ada lagi?” Kay menatap pembeli itu dan terkejut. “Martin?”

“Hai, Kay.” Martin tersenyum menyapa Kay, gadis itu membalasnya dengan senyum juga.

“Totalnya tujuh dolar dua puluh lima sen. Apa kau mau coba menu andalan kami? Oreo cheesecake?” Tidak hanya pada Martin, Kay selalu menawarkan kue andalan café kepada pembeli yang datang memesan. Kay sendiri bahkan belum pernah mencobanya, harga satu potong kue itu setara dengan setengah dari upahnya bekerja.

Martin tampak berpikir sambil melihat daftar menu di papan belakang. “Bisakah aku menambah satu banana latte dingin dan sepotong oreo cheesecake?”

“Tentu saja.” Kay tersenyum dan memasukkan dua menu tadi ke dalam pesanan Martin. Laki-laki itu menyerahkan sebuah kartu untuk membayar pesanannya, Kay menyerahkan kembali kartu berwarna hitam itu dengan sebuah struk dan meminta Martin untuk menunggu pesanannya.

Beberapa menit kemudian, pesanan Martin selesai dibuat. Kay menyebutkan semua pesanan Martin untuk memastikan bahwa tidak ada satu pesanan pun yang terlewat. “Selamat menikmati,” ucap Kay.

Gadis itu mencuci semua peralatan yang tadi dia gunakan untuk membuat pesanan Martin. Di café, tugas karyawan lebih banyak mencuci dan bersih-bersih daripada membuat kopi. Hingga tak lama seseorang memanggilnya. Kay menoleh, orang itu adalah Martin. Laki-laki itu meninggalkan sebuah kotak di atas etalase kue. “Untukmu,” ucapnya tanpa suara, kemudian pergi dengan senyum.

Diambilnya kotak itu dan dia buka, Kay terkejut. Isinya banana latte dan sepotong oreo cheesecake. Kenapa Martin memberikannya?

Dalam sekali kerja, Kay hanya bekerja selama tiga sampai empat jam. Ketika gadis itu tengah bersiap untuk pulang, sang manajer datang menghampiri. “Kay, ini ada beberapa macaron yang tersisa. Chuck terlalu banyak membuatnya, terserah kau mau jual itu atau untuk dirimu sendiri.” Kay mencicipi macaron itu, rasanya enak. Sayang kalau tidak dijual. Kay mengambil kotak itu dan mengucapkan terima kasih, lalu pulang ke rumah tercinta.

Esok harinya, Kay tengah menyiapkan berbagai peralatan untuk berjualan. Ya, dia berencana menjual macaron-macaron itu di Times Square. Hari Minggu, sudah pasti jumlah pejalan kaki jauh lebih banyak.

Alangkah terkejutnya Kay saat Reese tiba-tiba sudah muncul di depan pintu. Gadis itu jarang sekali bangun pagi di akhir pekan, hal ini membuat Kay bertanya-tanya. Kay menatap sekeliling, hanya ada Reese seorang. “Kau sendiri?” tanya Kay sambil menatap Reese dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Gadis itu mengikat tinggi rambut pirangnya dan memakai pakaian olahraga. “Aku ingin mengajak olahraga pagi di Central Park, yang lain sedang sibuk dengan kekasih mereka masing-masing. Jadi aku datang ke sini, aku yakin kau pasti tidak akan sibuk di akhir pekan.” Pandangan Reese teralihkan oleh sebuah keranjang dan kain piknik. “Tapi sepertinya aku salah. Kau mau pergi?”

“Ya, aku mau ke Times Square. Mau menjual macaron-macaron dari café.

“Kalau begitu aku ikut.” Reese menarik tangan Kay namun gadis itu menahannya.

“Tunggu. Kau mau membantuku berjualan?” tanya Kay meyakinkan.

“Kau harus memiliki food carts untuk berjualan di Times Square. Atau setidaknya mobil.”

Kay baru menyadari sesuatu. Semua pedagang kaki lima di sana menjajakan barang dagangannya dengan food carts. “Kau tidak perlu memusingkan hal itu. Aku punya mobil dan kau punya barang yang untuk di jual. Ayo!” Reese menarik tangan Kay dan membawanya ke mobil yang telah di cat ulang dengan warna merah metalik.

Times Square, salah satu kawasan yang tidak pernah tidur. Akan jauh lebih ramai ketika malam menjelang, lampu-lampu gedung akan menghias jalan begitu cantiknya. Reese dan Kay mulai merapikan dagangan mereka, menata sebagus mungkin agar banyak pembeli yang datang ke stan mereka. Mereka berdua melakukan berbagai macam promosi, menawarkan kepada pengunjung yang melewati stan mereka. Tapi, Reese terlihat lebih bersemangat untuk menjual macaron Kay. Kay tahu, Reese selalu bertentangan pendapat dengan ibunya. Ini dikarenakan sang ibu ingin Reese melanjutkan pendidikan di bidang tata busana sedangkan Reese ingin mengambil bisnis. Bakatnya memang terlihat jelas sekarang.

“Kalian berdua sedang apa di sini?” Kay menoleh, lagi-lagi Martin. Reese yang melihat Kay sedang berbicara dengan seorang laki-laki pun menghampiri gadis itu.

“Martin, bagaimana kalau kau membantu kami. Kami sedang-, ah tidak. Maksudku, Kay sedang menjual macaron dari café tempat dia bekerja. Bukankah kau ingin mengambil studi komunikasi? Anggap saja ini sebuah tes.” Reese tahu, sebenarnya Martin menyukai Kay. Sebagai teman yang baik, sudah sepantasnya Reese membantu mendekatkan mereka berdua. Lagipula, Kay dan Martin terlihat cocok di mata Reese.

Tanpa berpikir panjang, laki-laki itu mengangguk. Sesuai dengan dugaan Reese. Gadis itu menarik Martin untuk mengambil baki berisi tester dan membiarkan Kay berjaga di stan. Kay tak henti tersenyum melihat betapa gigihnya Martin dan Reese mempromosikan macaron itu.

Tidak membutuhkan waktu lama, macaron Kay habis terjual dalam waktu kurang dari satu jam. Sebagai ucapan terima kasih, Kay bermaksud ingin membelikan dua temannya minuman dingin pelepas dahaga tapi ditolak mentah-mentah oleh Reese. “Biar aku saja, uangnya kau simpan saja untuk biaya kuliah.”

“Kau akan melanjutkan ke mana setelah lulus nanti?” tanya Martin saat Reese sudah pergi, membuka percakapan.

“Aku ingin mengambil desain grafis. Aku sedang mencari universitas dengan biaya yang tidak terlalu mahal.”

Martin kemudian teringat sesuatu, dia mengambil ponselnya dan menunjukkan pesan dari pamannya kepada Kay. “Universitas Portsmouth sedang membuka beasiswa, kau bisa mencobanya.”

Kay melihat isi pesan itu, membaca persyaratannya dan batas pendaftaran. Martin menjelaskan bahwa perusahaan pamannya memang bekerja sama dengan Universitas Portsmouth dalam penyelenggaraan beasiswa, dan nanti ketika lulus mereka semua akan langsung bekerja di perusahaan pamannya. “Bukankah ini ada di Inggris?”

Jika seandainya Kay berhasil lolos seleksi beasiswa itu, dia akan tinggal di Inggris selama empat tahun sampai wisuda. Kemungkinan beasiswanya hanya untuk pendidikan, dan Kay harus bekerja. Terlebih Kay harus mengirimkan sejumlah uang kepada keluarganya setiap bulan. Kay ragu. Bukankah sama saja kalau Kay melanjutkan kuliah di New York? Sama-sama bekerja tapi masih tinggal satu rumah dengan keluargnya.

Melihat keraguan di wajah Kay, Martin pun menjelaskan, “Beasiswa penuh, Kay. Kau bahkan bisa magang di perusahaan pamanku jika sudah semester 2. Jika kau mau, aku akan memberi tahu pamanku. Seleksinya akan diadakan di salah satu perusahaannya yang terletak di Fifth Avenue.” Lama berpikir. Kay pun mengangguk mantap. Tidak ada salahnya mencoba.

 

 

-ooo-

 

Kay mematung, dirinya masih tidak percaya. Hari ini merupakan hari kelulusannya, semua orang tampil dengan penampilan terbaik mereka. Tapi bukan itu yang membuat Kay mematung. Dirinya lulus dengan nilai tertinggi di sekolah. Tak hanya itu, dirinya juga lolos seleksi beasiswa di Universitas Portsmouth. Sungguh, ini hadiah paling indah untuknya.

“Ayo kita berfoto!” ajak Naomi. Gadis itu sampai membeli kamera baru hanya untuk salah satu hari bersejarah dalam hidup mereka

Acara foto mereka terganggu saat ponsel Reese berdering. Panggilan dari nomor tidak dikenal. Penasaran, Reese angkat panggilan itu. “Kay, seseorang bernama Thomas ingin berbicara padamu.” Reese menyerahkan ponselnya pada Kay. Gadis itu ingat pernah memberikan nomor Reese pada Thomas untuk berkomunikasi karena Kay tidak memiliki ponsel. Kay minta pada Thomas untuk menghubungi nomor tersebut jika ada keadaan darurat.

“Iya, Thom.” Perasaan Kay tidak karuan, campur aduk dengan kadar ketakutan serta kegelisahan yang tinggi.

Kay, ibumu meninggal.” Kay jatuh terduduk, teman-temannya langsung datang menghampiri. Pandangan Kay kosong, pikirannya terhenti. Mendadak dia tuli, tidak bisa mendengar apa pun.

Reese mengambil kembali ponselnya dan berbicara pada Thomas, apa yang sebenarnya terjadi. Gadis itu langsung menyuruh teman-temannya untuk segera bergegas ke mobil dan pergi ke rumah sakit. Naomi dan Lucy membantu Kay untuk berdiri.

Lift terbuka, Kay berlari tak tentu arah mencari kamar tempat ibunya di rawat. Reese dan yang lain mengikuti dari belakang. Reese meminta Thomas untuk mengirim nomor kamar ibu Kay, gadis itu langsung menarik tangan Kay saat mereka harus naik satu lantai lagi.

Langkah Kay melambat saat melihat satu kamar penuh dengan orang menunggu di depan pintu. Ada beberapa wajah yang Kay kenal di sana. Wajah ayah dan adiknya, serta wajah Thomas dan Lami. Kay bersandar pada dinding dengan jarak tak jauh dari orang-orang itu. Air mata yang mengering kembali mengalir.

What the hell is this?” Naomi dan Lucy yang berdiri dekat dengan Kay saling memandang satu sama lain. Selama mereka berteman, tak sekali pun mereka mendengar Kay mengumpat.

“Kay.” Naomi memanggil namanya lembut, mencoba menenangkan.

WHAT THE HELL IS THIS?!” Teriakannya mampu mengalihkan fokus semua orang yang berada di sana.

Kay jatuh terduduk, batinnya terluka. Teman-temannya langsung memeluk Kay. Sedikit lagi, hanya sedikit lagi waktu yang dibutuhkan Kay untuk mengubah kehidupan keluarganya. Ibunya bahkan belum melihat Kay menikah. Bagaimana bisa? Kay merasa dipermainkan, Kay merasa semua usaha yang dia lakukan sia-sia.

 

-ooo-

 

Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan lobi Ritz Calton, seorang laki-laki keluar dan membuka pintu di sisi lain. Tangannya yang kekar menerima uluran tangan seorang gadis cantik. Laki-laki itu menyerahkan kunci mobilnya pada seorang valet. Gadis itu menunjukkan sebuah undangan pada penjaga dan kemewahan menyambut mereka saat pintu dibuka. Banyak sekali orang-orang penting di dalam sana. Tapi bagi pengantin wanita, dirinya orang terpenting dalam hidup.

“Aku akan menemui pengantin wanitanya dulu,” ucap Kay pada kekasihnya.

“Baiklah, aku akan menunggumu di sana.” Laki-laki itu mencium kening Kay dan melangkah menghampiri sebuah meja yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Kakinya melangkah anggun menuju ruangan di mana sang pengantin wanita menunggu sebelum acara di mulai. Langkahnya terhenti di sebuah pintu yang dijaga oleh dua orang pengawal bertubuh besar. Kay menunjukkan satu undangan lagi pada mereka yang berguna untuk menemui si pengantin wanita. Tidak semua tamu mendapatkan undangan itu, hanya orang terdekat saja. Ketika Kay masuk, sudah ada tiga orang yang menunggu di sana. Yang satu memakai gaun pengantin yang sangat indah dan dua lainnya memakai gaun sama yang dirancang khusus untuk mereka berdua.

“Jadi, kenapa hanya aku yang tidak mendapatkan seragam?” tanya gadis itu, membuat mereka menoleh.

“Kay!” Dua di antara mereka berlari menghampiri Kay, memeluknya dengan sangat erat. Lima tahun mereka tidak pernah bertemu, hanya saling berkomunikasi melalui e-mail dan media sosial lainnya.

“Bisakah kalian ke sini? Gaunku terlalu berat, aku juga ingin melepas rindu.” Mereka bertiga tertawa ketika Naomi terjebak dengan gaun pengantinnya.

Kay memasuki altar dan mencari Martin yang sudah mendapatkan tempat duduk di sebelah orang tua Naomi. Kay tidak tahu kenapa tapi Martin memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Portsmouth, sama seperti dirinya tapi hanya beda jurusan. Mereka mulai dekat karena mereka sering bertemu. Dan di semester lima, Martin memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada Kay.

Pintu terbuka, semua tamu yang hadir menoleh. Naomi tampak begitu cantik, berjalan menuju mempelai pria di dampingi sang ayah. Lulus dari kuliah, Naomi pindah ke Indonesia setelah mendapatkan pekerjaan di sebuah industri busana internasional yang membuka cabang di Indonesia. Memang dari dulu Naomi ingin tinggal di Indonesia dan menikah dengan warga lokal juga. Akhirnya, mimpi itu tercapai.

“Lalu, kapan kalian akan menikah?” bisik Reese pada Martin.

“Jika saja Kay tidak terikat peraturan yang menyatakan TIDAK BOLEH MENIKAH DALAM WAKTU DUA TAHUN, sudah aku nikahi dia setelah lulus kuliah.” Martin menekankan kalimatnya. “Jadi, aku baru bisa menikahinya sekitar dua tahun lagi.”

Janji suci telah terucap, kini tiba saatnya pengantin wanita untuk melempar bunga. Awalnya proses melempar bunga ini hanya boleh diikuti oleh sahabat dari pengantin wanita. Tapi seiring berjalannya waktu, proses tersebut diubah dan boleh diikuti semua lajang yang hadir dalam acara. Konon katanya, siapa pun yang mendapatkan buket bunga tersebut akan mendapatkan jodoh dalam waktu dekat.

Dalam hitungan ketiga, Naomi melemparkan buket bunganya dan berhasil di tangkap oleh… Lucy. “Tahun depan, kita akan menjadi pengiring pengantin untuk Lucy!” sorak Reese begitu bersemangat.

“Hei, bagaimana bisa? Kekasih saja aku belum punya.” Lucy berusaha mengelak.

“Mungkin ini karma karena dulu kau sering berganti pasangan,” timpal Kay.

“Apa? Astaga, Kay? Aku bersumpah kau tidak akan menikah sebelum aku menikah terlebih dulu.” Lucy yang kesal pergi untuk mengambil minum sedangkan yang lain tertawa.

Jujur saja, Kay merindukan momen seperti ini. Di saat canda dan tawa itu semakin meriah, perlahan pandangannya mulai terlihat kabur. Kepalanya terasa berat, sulit bernapas seakan-akan oksigen di sekelilingnya hilang entah ke mana. Ada rasa mual yang membuat tubuhnya semakin tak berdaya, cairan hangat terasa mengalir dari hidungnya. Dalam pandangan buram, Kay melihat Martin dan teman-temannya datang menghampiri. Ketika kesadarannya hilang, Kay tidak mengingat apa pun lagi.

Masih lengkap dengan pakaian formal, mereka semua menunggu dengan perasan tak karuan di depan ruang ICU. Lucy merutuki diri, gadis itu merasa Kay sampai seperti ini karena ucapannya, padahal ada hal lain yang membuat Kay terbaring di ruang ICU.

“Bagaimana keadaan Kay?” Martin yang dilanda kegelisahan, melangkah menghampiri ayah Kay dan Audney. Ya, Reese menghubungi keluarga Kay saat mereka membawa Kay ke rumah sakit dan Martin langsung memesan tiket pesawat ke Jakarta hari itu juga. Ayah Kay dan Audney baru tiba keesokan harinya, mengingat jarak antara Jakarta dan New York memakan waktu kurang lebih 20 jam.

Hampir setengah hari mereka menunggu tapi dokter tak kunjung memberi tahu bagaimana kondisi Kay. Mereka hanya melihat dokter yang menangani Kay serta beberapa perawat yang bolak-balik masuk ke ruang ICU untuk memeriksa keadaan Kay.

Reese yang sedari tadi diam tengah berpikir. Ada kejanggalan di balik semua ini. Penasaran, gadis itu menghampiri Martin. “Martin, ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?” Melihat raut wajah Martin yang berubah, Reese jadi semakin yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh laki-laki itu.

Martin membuang napas kasar, laki-laki itu harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. “Kay di diagnosa menderita kanker darah tiga tahun lalu. Kondisinya semakin parah setiap hari dan dia pernah mengalami koma satu tahun yang lalu.”

“Kenapa kau tidak segera memberitahu kami?”

Tamparan keras mendarat sempurna di pipi Martin saat laki-laki itu hendak menjawab. Hal ini membuat Naomi dan Lucy bergegas menghampiri mereka. “Kau anggap apa kami? Kami yang lebih dulu mengenal Kay, dan kau menyembunyikan semuanya dari kami? Apa maksudmu?” Tak memberi kesempatan untuk Martin menjawab, Reese menghadiahkan pukulan keras di dada laki-laki itu.

“Reese, hentikan!” Lucy memeluk gadis itu untuk menghentikan aksi Reese yang sudah keterlaluan. “Biarkan Martin menjawab,” lanjutnya.

“Kay yang memintaku untuk tidak menceritakannya pada kalian. Bukan hanya kalian, Kay juga melarangku untuk menceritakannya pada keluarganya sendiri.”

Semua diam terpaku. Kay, mengalami banyak penderitaan di masa mudanya kini juga harus kembali menerima kenyataan pahit di saat kehidupannya sudah jauh lebih baik. Martin mengambil sesuatu dari balik kemejanya, sebuah surat. “Kay sempat menulis ini untuk kalian, mungkin inilah waktu yang tepat untuk memberikannya.” Lucy mengambil surat itu dan membacanya bersama Naomi, sedangkan Reese sedang berusaha untuk menerima kenyataan. Suratnya tertulis :

Dear my besties,

Kesedihan dirasakan saat harus kehilangan salah satu orang yang dicintai. Sayangnya, semua itu tak bisa dihentikan akibat takdir yang telah berbicara. Meski telah melakukan apa pun dan bertahan sekuat tenaga, perpisahan tetap saja tak bisa dielakkan lagi. Semua orang tak akan kuat jika menentang suratan takdir yang telah di tulis.

Saat itu semua terjadi, tampaknya jalan yang dilalui telah tertutup. Hanya bintang yang menjadi petunjuk. Semua kenangan dan kebersamaan tak akan pernah bisa dilupakan begitu saja. Takdir juga yang mempertemukan. Bertahan adalah satu-satunya cara untuk membuat diri ini lebih kuat. Yakin dan percaya jika semuanya akan indah pada waktunya.

Jujur saja, kehilangan adalah hal yang pahit. Suatu hari nanti, pertemuan pasti akan terjadi lagi meski belum tahu kapan. Untuk saat ini, menyatukan perasaan adalah hal yang bisa dilakukan. Di akhir nanti, semua akan indah.

Terima kasih sudah mau menjadi teman. Terima kasih sudah bersama-sama menolongku merambat dinding dari lubang tak berujung, merangkak ke atas hingga aku bisa kembali melihat matahari bersama kalian. Aku mencintai kalian, teramat sangat.

 

XOXO,

 

Kaylee Mackenzie

 

Tangis tak terelakkan, Lucy langsung memeluk Reese yang masih tidak bisa menerima kenyataan dengan apa yang terjadi. Dokter keluar dari ruang ICU, membuat mereka semua berdiri, seakan siap mendengarkan apa pun yang akan terjadi. Mereka berusaha tegar meski air mata mengalir saat dokter menggeleng kepala pelan, tanda bahwa mereka tidak akan pernah bisa bertemu Kay lagi.

“Ayah!” teriak Audney saat melihat sang ayah jatuh terduduk, berlinang air mata. Martin dan yang lain datang menghampiri, memeluk lelaki baya yang telah kehilangan dua wanita yang dicintainya, memberikan kekuatan untuk menerima kenyataan. Pilu, batinnya terluka, merasa gagal bahwa dia tidak bisa menjaga dua wanita terhebat dalam hidupnya. Sang ayah memeluk Audney dengan sangat erat, mereka akan hidup dengan baik. Sang ayah berjanji, akan menjaga Audney dengan baik.

Di balik saku celana, Martin menyembunyikan dua buah cincin yang selalu dibawa kemana pun dia pergi. Cincin yang nantinya akan dia gunakan untuk melamar Kay. Setetes air mata jatuh menimpa cincin itu. Bagaimana pun, Martin akan menyimpan cincin itu. Cincin yang tersimpan banyak sekali cerita dan pengorbanan dari gadis yang dia cintai.

Selamat jalan, Love. Aku mencintaimu, selalu…

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Star and I, Penutup Trilogi New York Ilana Tan

Judul: The Star and I Penulis: Ilana Tan Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Editor: Heith Rusli Sampul: Kitty Felicia Ramadhani Jumlah Halaman: 344 halaman Panjang Buku: 20 cm ISBN: 978-602-06-4966-5 E-ISBN: 986-02-4967-2 Tahun Terbit: 20 Januari 2021 (Foto: Gramedia.com) Blurb: Sejak kecil, Olivia Mitchell ingin tahu siapa orangtua kandungnya. Jadi, ketika ia mendapat kesempatan bekerja di New York, ia pun menyambarnya tanpa ragu. Namun, mencari seseorang tanpa nama di kota sebesar New York adalah sesuatu yang mustahil. Kini kontrak kerja Olivia akan segera berakhir, dan Olivia menolak pulang ke Inggris sebelum melacak keberadaan orangtua kandungnya. Itu berarti ia harus segera mencari pekerjaan baru supaya ia bisa tetap tinggal di New York. Seolah semua itu belum cukup memusingkan, Olivia mendadak bertemu kembali dengan Rex Rankin—sahabat masa kecilnya, sekaligus cinta pertamanya yang gagal—yang muncul untuk menawarkan bantuan. Profil Penulis Nama Ilana Tan mulai terkenal karena novel ...

4 Webtoon Bertema Makanan yang Bikin Kamu 'Ngiler'

Bicara tentang Webtoon , tema yang paling populer adalah percintaan, drama, dan fantasi. Entah mengapa, tema percintaan selalu jadi nomor satu. Kalian tahu tidak apa efeknya baca Webtoon tema percintaan? Ini bisa meningkatkan hormon ke- halu -an kalian dan bisa memperparah imajinasi kalian, lho! Webtoon memang jadi pilihan terbaik untuk memperbaiki mood dan paling afdol jika dibarengi dengan camilan favorit. Di pembahasan kali ini, aku mau merekomendasikan Webtoon yang akan membuat cacing-cacing dalam perut kalian berdemo. Ini rekomendasi pure dari aku pribadi, bukan nyomot artikel orang lain. Jajan Squad Webtoon.com Author: Dito Satrio Season: 1 Jumlah episode: 186 episode Genre: Slice of life Status: Tamat Indonesia terkenal dengan budayanya yang beragam, termasuk makanan. Mulai dari jajanan tradisional hingga makanan berat, Indonesia punya buanyak banget pilihan. Sebut saja kue cucur, kue putu, gudeg, rawon, dan lain sebagainya. Bahkan, setiap kota punya jenis soto masing-masi...

Love Rain, Ketika Cinta Terhalang Masa Lalu Orang Tua

Di sini ada nggak yang lebih suka nonton drama Korea beberapa tahun lalu? Bukan drama yang lagi viral saat ini, ya. Kalau ada, berarti kita punya sense drakor yang sama. Ya, aku lebih suka nonton drakor zaman dulu. Berhubung aku lagi rindu sama aktingnya Jang Geun Suk, mari kita flashback ke sepuluh tahun silam melalui drama Love Rain. Sinopsis Perjalanan kisah cinta dua sejoli tahun 70-an. Seo In Ha, mahasiswa jurusan seni yang jatuh cinta pada Kim Yoon Hee, perempuan yang tidak sengaja berpapasan dengannya dalam waktu tiga detik. Mereka saling mencintai. Sayangnya, kisah cinta mereka tidak berakhir bahagia. Di abad-21, Seo Joon yang merupakan anak Seo In Ha juga melakukan hal yang sama. Dia jatuh cinta dengan Jung Ha Na, anak dari Kim Yoon Hee. Sifat mereka berdua berbanding terbalik dengan sifat orang tua mereka. Pemeran Utama Seo Joon Seo Joon merupakan seorang fotografer hebat yang memiliki sifat bossy , dingin, dan nggak percaya sama cinta. Hal ini dikarenakan dia kecewa sama a...