Jujur saja, kehilangan
adalah hal yang menyakitkan. Suatu hari nanti, pertemuan pasti akan terjadi
lagi meski belum tahu kapan. Untuk saat ini, menyatukan perasaan adalah hal
yang bisa dilakukan. Di akhir nanti, semua akan indah.
-ooo-
Mungkin, Kaylee Mackenzie adalah gadis yang paling beruntung di dunia ini. Untuk bisa mengenyam pendidikan di sekolah terbaik di New York, Kay–sapaan akrabnya–harus mempertahankan kestabilan semua nilai akademiknya. Jika ada satu nilai yang turun, beasiswanya akan dicabut. Kejam? Tapi seperti itulah perjanjiannya. Sukses yang sesungguhnya adalah ketika kau berusaha dan memulainya dari bawah.
Sama
seperti yang sudah Kay bayangkan sebelumnya, gadis itu kesulitan mencari teman.
Semua siswa dan siswi yang mengenyam pendidikan di sana sebagian besar lahir
dari orang tua yang memiliki pekerjaan mapan, berbeda dengan dirinya yang hanya
mengandalkan beasiswa. Tapi, gadis itu tidak peduli. Semua makhluk yang bernapas
pasti memiliki satu tujuan hidup. Tujuan hidup gadis itu adalah lulus dengan
nilai memuaskan, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan mengubah kualitas hidup
keluarganya.
Meski begitu, Kay memiliki tiga orang teman yang benar-benar baik. Mereka adalah
Reese, Lucy, dan Naomi. Semua berawal saat Kay membantu Reese yang kakinya
terluka karena kecelakaan kecil saat mereka pulang sekolah. Awalnya Reese
menolak karena otaknya telah dicuci oleh gosip sekolah yang mengatakan hal
buruk tentang Kay. Namun semua berubah saat Reese melihat ketulusan dalam mata Kay,
dan mereka berteman sejak saat itu.
Tidak
hanya sibuk di sekolah, Kay juga selalu sibuk di rumah. Pagi-pagi sekali gadis
itu menggantikan tugas sang ibu menyiapkan sarapan karena sang ibu tengah sakit
keras, mengalami pengapuran tulang yang cukup parah. Kay tinggal bersama ayah,
ibu, dan adiknya. Kedua kakaknya sudah menikah, kakak pertamanya ikut suami
tinggal di Queens dan kakak keduanya tinggal di Richmond. Ayah Kay merupakan
seorang kurir ekspedisi. Tadinya sang ayah bekerja sebagai seorang bricklayers, hanya saja berhenti dua
tahun kemudian karena usianya sudah cukup renta.
“Audney,
ayo bangun! Nanti terlambat!” teriak Kay tidak terlalu keras sambil menyiapkan
sarapan pagi itu. Kay sibuk menghangatkan roti pemberian Mrs. Diana semalam dan membuat susu untuk sarapan sang ibu. Ayahnya
sudah berangkat pagi-pagi buta.
Kay
langsung menyeduh susu itu dan meletakkan ke atas baki, lalu membawanya ke
kamar sang ibu. “Ibu, ini susunya.” Diletakkannya baki itu dengan hati-hati di
atas meja. “Nanti Becca akan ke rumah membawa sup krim kerang untuk makan
siang,” lanjutnya. Becca adalah seorang janda beranak satu yang sangat dekat
dengan keluarga Kay.
“Audney,
seragamnya sudah aku gantung di lemari!” Jarak sekolah adiknya tidak terlalu
jauh dari rumah, tidak seperti Kay yang harus naik dua kali subway untuk bisa sampai di sekolahnya.
Inilah yang menyebabkan Kay harus berangkat lebih pagi dari teman-teman yang
lain.
Setelah
semua pekerjaannya selesai, Kay bersiap untuk berangkat. Tak lupa dia
berpamitan dengan sang ibu dan berdoa. Tuhan,
semoga setiap langkah yang aku ambil adalah pilihan terbaik-Mu, doanya
dalam hati sambil membawa tiga keranjang berisi cupcakes.
Ya,
Kay membantu perekonomian keluarga dengan berjualan cupcakes. Sebenarnya, sang ibu yang berjualan hanya saja dengan
kondisi kesehatan beliau sekarang, Kay yang mengambil alih. Kay juga yang
membuatnya berdasarkan resep dari sang ibu. Dua keranjang gadis itu titipkan di
toko roti dekat rumahnya dan satu keranjang lagi akan dia titipkan di kantin
sekolah. Sebenarnya tidak boleh berjualan di sekolah, tapi ada seorang petugas
baik hati yang mengizinkan Kay menitipkan cupcakes-nya
dan berpura-pura bahwa bukan Kay yang membuatnya. Kay akan mengambil uang hasil
jualan cupcakes setelah jam sekolah
berakhir.
Kantin
sekolah masih sepi, beberapa di antara petugas tengah menyiapkan menu untuk
makan siang. Kay berjalan menghampiri seorang wanita baya untuk menitipkan cupcakes buatannya. “Hai, Elena!” sapa Kay
dengan ramah.
“Hai,
Kay.” Elena tersenyum dan mengambil keranjang cupcakes Kay dan menatanya sejajar dengan kue-kue pencuci mulut
yang lain. “Segelas cokelat panas akan mencerahkan harimu. Kau mau?”
“Tidak
usah, Elena. Aku harus segera masuk, ada quiz dari Mr. Paul pagi ini.
Total cupcakes-nya ada lima belas buah. Akan aku ambil setelah sekolah selesai. Ah, dan
satu lagi. Ada rasa baru, sirup maple. Semoga yang lain menyukainya.” Kay
mengambil satu buah cupcakes rasa
baru yang ternyata memang sudah Kay siapkan khusus untuk Elena.
“Bagaimana?”
tanya Kay setelah Elena mencicipi kue yang menggemaskan itu.
“Percaya
padaku, kau harus mengambil studi tata boga untuk jenjang sarjanamu. Kau ada
bakat untuk menjadi seorang patissier.” Kay tersenyum lega mendengarnya,
percobaannya kali ini berhasil. Selesai dengan cupcakes, Kay pun masuk ke kelas.
-ooo-
“Kay!”
Gadis itu melambai ketika Reese dan dua temannya sudah berada di depan kelas.
Kelas mereka berbeda, baru di tingkat ketiga mereka berpisah. Dari tingkat
pertama sampai tingkat kedua mereka selalu satu kelas. Meski pun begitu, mereka
selalu menyempatkan diri untuk istirahat bersama.
“Ayo
ke kantin! Aku sudah lapar,” ajak Lucy yang memang tidak bisa menahan lapar
meski hanya satu menit.
“Ayo,
aku juga sudah lapar. Ayo, Kay!”
Kay
tersenyum sambil menggeleng pelan. “Kalian saja, aku belum lapar.”
“Kay,
kami tahu ujian kelulusan sebentar lagi. Tapi bukan berarti kau harus
menghabiskan waktu yang tersisa hanya untuk membaca buku dan mempelajari
materi. Setidaknya, berikan waktu untuk otak di dalam kepala cantikmu itu
beristirahat,” rayu Naomi sambil merangkul bahu Kay dengan erat.
“Bagaimana
kalau kita makan di kelas saja sambil menemani Kay belajar?” saran Reese. Semua
mengangguk setuju. “Lucy, bisakah kau pesankan makanan?”
Lucy
mengangguk. Entah kenapa gadis dengan rambut seharum buah beri itu suka sekali
jika disuruh membeli makanan di kantin. Bahkan, gadis itu akan dengan sukarela
menawarkan diri untuk membeli camilan saat mereka menginap di rumah Reese. Lucy
pun mulai mencatat pesanan teman-temannya.
Seperti
itulah siklus pertemanan Kay. Jika gadis itu tidak bisa ikut makan siang di
kantin, mereka akan sukarela makan di kelas menemani Kay, dan jika gadis itu
tidak membawa bekal, dengan senang hati pula mereka akan membayar makan siang
Kay. Terkadang, Kay merasa tidak enak. Suatu hari pernah dia hendak
mengembalikan semua uang yang sudah mereka keluarkan untuk membayar makan
siangnya, tapi ditolak dengan lembut. Mereka tahu bahwa Kay sedang menabung
untuk melanjutkan pendidikan sarjananya. Dan menurut mereka, uang yang mereka
berikan untuk Kay tidak sebanding dengan apa yang sudah Kay lakukan untuk tetap
berusaha meraih cita-citanya.
Bel tanda istirahat berakhir pun berbunyi, Kay melambaikan tangan sambil
tersenyum ketika teman-temannya kembali ke kelas mereka masing-masing. Aura
mencekam menyelimuti kelas Kay saat Mrs. Gilbert
memasuki ruangan. Mereka akan melakukan presentasi dengan tema yang telah
mereka pilih minggu lalu. Oh, tentu saja Mrs.
Gilbert tidak akan lupa dengan semua tugas yang sudah beliau berikan.
Pernah suatu hari beliau menjanjikan quiz
mingguan, tapi di hari-H beliau berhalangan hadir. Tiga hari setelahnya,
beliau langsung mengadakan quiz dadakan
sebagai pengganti quiz yang tertunda.
“So, class, kita ada presentasi hari ini.
Untuk kelompok yang sudah siap, bisa maju dengan senang hati,” ucap Mrs. Gilbert saat langkah pertama
memasuki kelas Kay hingga beliau meletakkan perlengkapannya di atas meja.
Mrs. Gilbert
menatap seisi kelas dengan tangan bersedekap di dada. “Tidak ada yang mau maju?
Baiklah, akan aku panggil secara acak.” Wanita baya itu mengambil buku absen
dan memilih acak hingga tersebut nama, “Martin Uckerman.”
Martin
merupakan siswa pertukaran pelajar dari Italia. Sejak pertama kali menginjakan
kaki di sekolah, semua mata tertuju padanya. Rambut hitam khas orang Eropa
serta tatapan mata yang tajam menjadi daya tarik tersendiri untuk laki-laki
itu. Kulit eksotisnya mampu membuat semua hawa berpikiran senonoh.
Hanya
satu yang membuat Kay memperhatikan Martin, laki-laki itu terlalu pintar. Kay
pernah satu kelompok dengan Martin saat pelajaran matematika. Ketika Kay butuh
waktu beberapa menit untuk mencari jawaban soal yang telah ditentukan, Martin
hanya membutuhkan waktu dua menit untuk memecahkan soal itu. Menakjubkan!
Terlalu
sibuk dalam pikirannya, Kay tersentak saat namanya dipanggil oleh Mrs. Gilbert. Kay dan dua anggota
kelompoknya maju ke depan, menyerahkan flashdisc
ke Mrs. Gilbert dan mulai
presentasi. “Kami akan membahas tentang Perekonomian Indonesia,” ucap Kay.
Seminggu
yang lalu, ayahnya selalu mencari berita tentang Perekonomian Indonesia karena
rencananya mereka akan pindah ke negara yang terkenal sebagai negara maritim
itu. Tapi tidak jadi mengingat kondisi sang ibu yang tengah sakit dan Kay yang
sudah duduk di akhir Sekolah Menengah Atas.
Kay
memulai presentasi. Ada tiga bagian berbeda dalam presentasinya dan Kay sudah
membagi ketiga bagian itu dengan anggotanya yang lain. Hanya butuh waktu
sepuluh menit bagi Kay dan kelompoknya menyelesaikan presentasi. Batas waktu
maksimal yang diberikan adalah lima belas menit, namun Kay memilh membuat
presentasi yang singkat namun isinya dapat dipahami.
“Sesi
pertanyaan di buka. Silakan.” Kay sangat membenci presentasi karena saat dia
melakukan presentasi, tidak akan ada yang fokus pada penjelasannya. Tidak ada
yang menghargai waktu dan usahanya untuk membuat presentasi, dan gadis itu pun
pasrah. “Apa pertanyaanmu, Jeremy?” Kay mengucap syukur karena ada yang
memperhatikan presentasinya. Kay menatap Jeremy dengan tatapan penuh rasa terima
kasih.
“Seperti
yang kita ketahui, tingkat kemiskinan di Indonesia setiap tahunnya terus
meningkat. Menurutmu, bagaimana solusi untuk mengatasinya?”
Kay
mengembuskan napas sebelum menjawab pertanyaan Jeremy. “Semua tergantung dari
pemerintah, seperti: 1) Pemberian subsidi yang tepat sasaran. 2) Adanya program
pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, baik itu dari segi pendidikan maupun
dari segi bantuan kesehatan dan kehidupan yang layak.” Kay mengakhiri jawaban
untuk pertanyaan Jeremy.
“Ada
yang mau bertanya lagi?” Tak ada tanda-tanda seseorang akan mengangkat
tangannya. “Baiklah, aku yang akan bertanya.”
Mrs. Gilbert
bangun dari duduknya dan menyandarkan bokong di tepi meja sambil menatap
kelompok Kay. “Kaylee Mackenzie. Bagaimana dengan inflasi? Di tahun 2017,
inflasi Indonesia mengalami sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya tapi
peningkatan ini berdampak pada penduduk berpendapatan rendah yang memicu
kemiskinan. Bagaimana pendapatmu?”
Kay
melirik dua anggota lain yang berdiri di belakang, mereka berdua tampak
berbisik. Sepertinya mereka tidak tahu ingin bagaimana menjawab pertanyaan Mrs. Gilbert, Kay pun demikian. Dia
tidak memikirkan pertanyaan seperti itu semalam. Satu menit diam berpikir, Kay
pun menjawab, “Ada dua solusi untuk mengatasi masalah inflasi ini. Pertama
adalah kebijakan dalam sektor moneter. Bank Indonesia melakukan peningkatan BI rate di setiap akhir bulan yang akan menekan
inflasi namun berdampak pada sektor rill. Kedua adalah kebijakan fisikal dalam
bidang perpajakan. Hal tersebut diharapkan dapat menurunkan tingkat inflasi
yang terjadi.”
Mrs. Gilbert
mempersilakan Kay dan kelompoknya kembali ke tempat duduk. Pelajaran Mrs. Gilbert hari itu dihabiskan untuk
presentasi.
-ooo-
Pulang
sekolah, Kay mengambil hasil penjualan di toko roti milik Lami. Gadis itu biasa
menghabiskan waktu kurang lebih dua jam di sana untuk menunggu seseorang. Orang
yang dimaksud adalah rentenir. Ya, ibunya meminjam uang pada rentenir untuk
modal usaha. Karena ibunya sedang sakit, mau tidak mau Kay melanjutkan usaha
ibunya dan penghasilan yang di dapat dibagi untuk membayar pinjaman. Kay hanya
bisa membawa dua puluh persen dari keuntungan penjualannya. Gadis itu
mengembuskan napas berat, akan sampai kapan dia hidup seperti ini?
“Kay,
tadi nenekku membawakan ayam goreng madu tapi terlalu banyak. Ini untukmu.”
Lami menyerahkan sebuah kotak terbungkus kain, aromanya sangatlah lezat.
“Terima
kasih. Salam untuk nenekmu.” Kay bersyukur, masih ada orang baik dalam
kehidupannya yang menyedihkan itu.
Masih
ada beberapa lembar dolar di dalam tasnya, sebagian untuk uang saku dirinya dan
sang adik lalu sisanya untuk membeli kebutuhan keluarga. Kay mengingat-ingat
lagi bahan apa saja yang habis di rumah. Itu pun tidak Kay beli semua, Kay
hanya membeli barang yang memang benar-benar dibutuhkan saja.
“Hai,
Thomas!” sapa Kay saat memasuki sebuah mini market yang letaknya tak jauh dari
rumah. Kay hanya mengambil roti, susu dan telur. Uangnya hanya cukup untuk
membeli itu saja.
“Ada
lagi?” tanya Thomas setelah memasukkan barang belanjaan Kay ke dalam paper bag. Gadis itu menggeleng sambil
tersenyum.
Kay
menyerahkan selembar uang lima dolar untuk membayar barangnya. “Terima kasih,
Thom.”
“Tunggu,
Kay.” Kay yang hendak melangkah keluar, terhenti. Thomas keluar dari area
kasir, masuk ke dalam gudang dan kembali dengan sebuah bingkisan di tangan lalu
menyerahkannya pada Kay.
“Apa
ini?” tanya Kay saat menerima bingkisan cukup besar itu.
“Aku
dengar ibumu sakit. Aku dan beberapa karyawan hanya bisa membantu ini, semoga
berguna.”
Terharu,
Kay memeluk laki-laki muda bertubuh besar itu. Usia Thomas hanya beda satu
tahun dengan Kay. “Terima kasih, Thom.”
Kay
pulang sebentar untuk mengantarkan barang belanjaan dan berganti pakaian.
Setiap Sabtu malam, Kay bekerja paruh waktu di sebuah dessert café yang letaknya
hanya berjarak beberapa blok dari rumahnya. Kay bekerja di sana hanya di hari
Sabtu dan Minggu, itu pun tergantung dari kebijakan manajer di sana. Berhubung
hari Sabtu Kay masih ada kelas, Kay baru bisa datang ke café jam enam sore. Tak jarang banyak teman-temannya yang datang ke
sana untuk sekadar bersantai ria, beberapa guru pun juga sering dia temui.
Kay
yang sedang membersihkan meja bergegas ke kasir saat ada seseorang yang sudah
mengantre, gadis itu menyapa orang tersebut dan menanyakan kembali pesanannya.
“Satu caramel latte panas. Ada lagi?”
Kay menatap pembeli itu dan terkejut. “Martin?”
“Hai,
Kay.” Martin tersenyum menyapa Kay, gadis itu membalasnya dengan senyum juga.
“Totalnya
tujuh dolar dua puluh lima sen. Apa kau mau coba menu andalan kami? Oreo
cheesecake?” Tidak hanya pada Martin, Kay selalu menawarkan kue andalan café kepada pembeli yang datang memesan.
Kay sendiri bahkan belum pernah mencobanya, harga satu potong kue itu setara
dengan setengah dari upahnya bekerja.
Martin
tampak berpikir sambil melihat daftar menu di papan belakang. “Bisakah aku
menambah satu banana latte dingin dan sepotong oreo cheesecake?”
“Tentu
saja.” Kay tersenyum dan memasukkan dua menu tadi ke dalam pesanan Martin.
Laki-laki itu menyerahkan sebuah kartu untuk membayar pesanannya, Kay
menyerahkan kembali kartu berwarna hitam itu dengan sebuah struk dan meminta Martin
untuk menunggu pesanannya.
Beberapa
menit kemudian, pesanan Martin selesai dibuat. Kay menyebutkan semua pesanan Martin
untuk memastikan bahwa tidak ada satu pesanan pun yang terlewat. “Selamat
menikmati,” ucap Kay.
Gadis
itu mencuci semua peralatan yang tadi dia gunakan untuk membuat pesanan Martin.
Di café, tugas karyawan lebih banyak
mencuci dan bersih-bersih daripada membuat kopi. Hingga tak lama seseorang
memanggilnya. Kay menoleh, orang itu adalah Martin. Laki-laki itu meninggalkan
sebuah kotak di atas etalase kue. “Untukmu,” ucapnya tanpa suara, kemudian
pergi dengan senyum.
Diambilnya
kotak itu dan dia buka, Kay terkejut. Isinya banana latte dan sepotong oreo
cheesecake. Kenapa Martin memberikannya?
Dalam
sekali kerja, Kay hanya bekerja selama tiga sampai empat jam. Ketika gadis itu
tengah bersiap untuk pulang, sang manajer datang menghampiri. “Kay, ini ada
beberapa macaron yang tersisa. Chuck terlalu banyak membuatnya, terserah kau
mau jual itu atau untuk dirimu sendiri.” Kay mencicipi macaron itu, rasanya
enak. Sayang kalau tidak dijual. Kay mengambil kotak itu dan mengucapkan terima
kasih, lalu pulang ke rumah tercinta.
Esok
harinya, Kay tengah menyiapkan berbagai peralatan untuk berjualan. Ya, dia
berencana menjual macaron-macaron itu di Times Square. Hari Minggu, sudah pasti
jumlah pejalan kaki jauh lebih banyak.
Alangkah
terkejutnya Kay saat Reese tiba-tiba sudah muncul di depan pintu. Gadis itu
jarang sekali bangun pagi di akhir pekan, hal ini membuat Kay bertanya-tanya.
Kay menatap sekeliling, hanya ada Reese seorang. “Kau sendiri?” tanya Kay
sambil menatap Reese dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Gadis
itu mengikat tinggi rambut pirangnya dan memakai pakaian olahraga. “Aku ingin
mengajak olahraga pagi di Central Park, yang lain sedang sibuk dengan kekasih
mereka masing-masing. Jadi aku datang ke sini, aku yakin kau pasti tidak akan
sibuk di akhir pekan.” Pandangan Reese teralihkan oleh sebuah keranjang dan
kain piknik. “Tapi sepertinya aku salah. Kau mau pergi?”
“Ya,
aku mau ke Times Square. Mau menjual macaron-macaron dari café.”
“Kalau
begitu aku ikut.” Reese menarik tangan Kay namun gadis itu menahannya.
“Tunggu.
Kau mau membantuku berjualan?” tanya Kay meyakinkan.
“Kau
harus memiliki food carts untuk berjualan di Times Square. Atau setidaknya
mobil.”
Kay
baru menyadari sesuatu. Semua pedagang kaki lima di sana menjajakan barang
dagangannya dengan food carts. “Kau
tidak perlu memusingkan hal itu. Aku punya mobil dan kau punya barang
yang untuk di jual. Ayo!” Reese menarik tangan Kay dan membawanya ke mobil yang
telah di cat ulang dengan warna merah metalik.
Times
Square, salah satu kawasan yang tidak pernah tidur. Akan jauh lebih ramai
ketika malam menjelang, lampu-lampu gedung akan menghias jalan begitu
cantiknya. Reese dan Kay mulai merapikan dagangan mereka, menata sebagus
mungkin agar banyak pembeli yang datang ke stan mereka. Mereka berdua melakukan
berbagai macam promosi, menawarkan kepada pengunjung yang melewati stan mereka.
Tapi, Reese terlihat lebih bersemangat untuk menjual macaron Kay. Kay tahu,
Reese selalu bertentangan pendapat dengan ibunya. Ini dikarenakan sang ibu
ingin Reese melanjutkan pendidikan di bidang tata busana sedangkan Reese ingin
mengambil bisnis. Bakatnya memang terlihat jelas sekarang.
“Kalian
berdua sedang apa di sini?” Kay menoleh, lagi-lagi Martin. Reese yang melihat
Kay sedang berbicara dengan seorang laki-laki pun menghampiri gadis itu.
“Martin,
bagaimana kalau kau membantu kami. Kami sedang-, ah tidak. Maksudku, Kay sedang
menjual macaron dari café tempat dia
bekerja. Bukankah kau ingin mengambil studi komunikasi? Anggap saja ini sebuah
tes.” Reese tahu, sebenarnya Martin menyukai Kay. Sebagai teman yang baik,
sudah sepantasnya Reese membantu mendekatkan mereka berdua. Lagipula, Kay dan Martin
terlihat cocok di mata Reese.
Tanpa
berpikir panjang, laki-laki itu mengangguk. Sesuai dengan dugaan Reese. Gadis
itu menarik Martin untuk mengambil baki berisi tester dan membiarkan Kay
berjaga di stan. Kay tak henti tersenyum melihat betapa gigihnya Martin dan
Reese mempromosikan macaron itu.
Tidak
membutuhkan waktu lama, macaron Kay habis terjual dalam waktu kurang dari satu
jam. Sebagai ucapan terima kasih, Kay bermaksud ingin membelikan dua temannya
minuman dingin pelepas dahaga tapi ditolak mentah-mentah oleh Reese. “Biar aku
saja, uangnya kau simpan saja untuk biaya kuliah.”
“Kau
akan melanjutkan ke mana setelah lulus nanti?” tanya Martin saat Reese sudah
pergi, membuka percakapan.
“Aku
ingin mengambil desain grafis. Aku sedang mencari universitas dengan biaya yang
tidak terlalu mahal.”
Martin
kemudian teringat sesuatu, dia mengambil ponselnya dan menunjukkan pesan dari
pamannya kepada Kay. “Universitas Portsmouth sedang membuka beasiswa, kau bisa
mencobanya.”
Kay
melihat isi pesan itu, membaca persyaratannya dan batas pendaftaran. Martin
menjelaskan bahwa perusahaan pamannya memang bekerja sama dengan Universitas
Portsmouth dalam penyelenggaraan beasiswa, dan nanti ketika lulus mereka semua
akan langsung bekerja di perusahaan pamannya. “Bukankah ini ada di Inggris?”
Jika
seandainya Kay berhasil lolos seleksi beasiswa itu, dia akan tinggal di Inggris
selama empat tahun sampai wisuda. Kemungkinan beasiswanya hanya untuk
pendidikan, dan Kay harus bekerja. Terlebih Kay harus mengirimkan sejumlah uang
kepada keluarganya setiap bulan. Kay ragu. Bukankah sama saja kalau Kay
melanjutkan kuliah di New York? Sama-sama bekerja tapi masih tinggal satu rumah
dengan keluargnya.
Melihat
keraguan di wajah Kay, Martin pun menjelaskan, “Beasiswa penuh, Kay. Kau bahkan
bisa magang di perusahaan pamanku jika sudah semester 2. Jika kau mau, aku akan
memberi tahu pamanku. Seleksinya akan diadakan di salah satu perusahaannya yang
terletak di Fifth Avenue.” Lama berpikir. Kay pun mengangguk mantap. Tidak ada
salahnya mencoba.
-ooo-
Kay
mematung, dirinya masih tidak percaya. Hari ini merupakan hari kelulusannya,
semua orang tampil dengan penampilan terbaik mereka. Tapi bukan itu yang
membuat Kay mematung. Dirinya lulus dengan nilai tertinggi di sekolah. Tak
hanya itu, dirinya juga lolos seleksi beasiswa di Universitas Portsmouth.
Sungguh, ini hadiah paling indah untuknya.
“Ayo
kita berfoto!” ajak Naomi. Gadis itu sampai membeli kamera baru hanya untuk
salah satu hari bersejarah dalam hidup mereka
Acara
foto mereka terganggu saat ponsel Reese berdering. Panggilan dari nomor tidak
dikenal. Penasaran, Reese angkat panggilan itu. “Kay, seseorang bernama Thomas
ingin berbicara padamu.” Reese menyerahkan ponselnya pada Kay. Gadis itu ingat
pernah memberikan nomor Reese pada Thomas untuk berkomunikasi karena Kay tidak
memiliki ponsel. Kay minta pada Thomas untuk menghubungi nomor tersebut jika
ada keadaan darurat.
“Iya,
Thom.” Perasaan Kay tidak karuan, campur aduk dengan kadar ketakutan serta
kegelisahan yang tinggi.
“Kay, ibumu meninggal.” Kay jatuh
terduduk, teman-temannya langsung datang menghampiri. Pandangan Kay kosong,
pikirannya terhenti. Mendadak dia tuli, tidak bisa mendengar apa pun.
Reese
mengambil kembali ponselnya dan berbicara pada Thomas, apa yang sebenarnya
terjadi. Gadis itu langsung menyuruh teman-temannya untuk segera bergegas ke
mobil dan pergi ke rumah sakit. Naomi dan Lucy membantu Kay untuk berdiri.
Lift
terbuka, Kay berlari tak tentu arah mencari kamar tempat ibunya di rawat. Reese
dan yang lain mengikuti dari belakang. Reese meminta Thomas untuk mengirim
nomor kamar ibu Kay, gadis itu langsung menarik tangan Kay saat mereka harus
naik satu lantai lagi.
Langkah
Kay melambat saat melihat satu kamar penuh dengan orang menunggu di depan
pintu. Ada beberapa wajah yang Kay kenal di sana. Wajah ayah dan adiknya, serta
wajah Thomas dan Lami. Kay bersandar pada dinding dengan jarak tak jauh dari
orang-orang itu. Air mata yang mengering kembali mengalir.
“What
the hell is this?” Naomi dan Lucy yang berdiri dekat dengan Kay saling
memandang satu sama lain. Selama mereka berteman, tak sekali pun mereka
mendengar Kay mengumpat.
“Kay.”
Naomi memanggil namanya lembut, mencoba menenangkan.
“WHAT
THE HELL IS THIS?!” Teriakannya mampu mengalihkan fokus semua orang yang berada
di sana.
Kay
jatuh terduduk, batinnya terluka. Teman-temannya langsung memeluk Kay. Sedikit
lagi, hanya sedikit lagi waktu yang dibutuhkan Kay untuk mengubah kehidupan
keluarganya. Ibunya bahkan belum melihat Kay menikah. Bagaimana bisa? Kay
merasa dipermainkan, Kay merasa semua usaha yang dia lakukan sia-sia.
-ooo-
Sebuah
mobil mewah berhenti tepat di depan lobi Ritz Calton, seorang laki-laki keluar
dan membuka pintu di sisi lain. Tangannya yang kekar menerima uluran tangan
seorang gadis cantik. Laki-laki itu menyerahkan kunci mobilnya pada seorang valet. Gadis itu menunjukkan sebuah
undangan pada penjaga dan kemewahan menyambut mereka saat pintu dibuka. Banyak sekali
orang-orang penting di dalam sana. Tapi bagi pengantin wanita, dirinya orang
terpenting dalam hidup.
“Aku
akan menemui pengantin wanitanya dulu,” ucap Kay pada kekasihnya.
“Baiklah,
aku akan menunggumu di sana.” Laki-laki itu mencium kening Kay dan melangkah
menghampiri sebuah meja yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Kakinya
melangkah anggun menuju ruangan di mana sang pengantin wanita menunggu sebelum
acara di mulai. Langkahnya terhenti di sebuah pintu yang dijaga oleh dua orang
pengawal bertubuh besar. Kay menunjukkan satu undangan lagi pada mereka yang
berguna untuk menemui si pengantin wanita. Tidak semua tamu mendapatkan
undangan itu, hanya orang terdekat saja. Ketika Kay masuk, sudah ada tiga orang
yang menunggu di sana. Yang satu memakai gaun pengantin yang sangat indah dan dua
lainnya memakai gaun sama yang dirancang khusus untuk mereka berdua.
“Jadi,
kenapa hanya aku yang tidak mendapatkan seragam?” tanya gadis itu, membuat
mereka menoleh.
“Kay!”
Dua di antara mereka berlari menghampiri Kay, memeluknya dengan sangat erat.
Lima tahun mereka tidak pernah bertemu, hanya saling berkomunikasi melalui e-mail dan media sosial lainnya.
“Bisakah
kalian ke sini? Gaunku terlalu berat, aku juga ingin melepas rindu.” Mereka bertiga
tertawa ketika Naomi terjebak dengan gaun pengantinnya.
Kay
memasuki altar dan mencari Martin yang sudah mendapatkan tempat duduk di
sebelah orang tua Naomi. Kay tidak tahu kenapa tapi Martin memutuskan untuk
melanjutkan pendidikan di Universitas Portsmouth, sama seperti dirinya tapi
hanya beda jurusan. Mereka mulai dekat karena mereka sering bertemu. Dan di
semester lima, Martin memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada Kay.
Pintu
terbuka, semua tamu yang hadir menoleh. Naomi tampak begitu cantik, berjalan
menuju mempelai pria di dampingi sang ayah. Lulus dari kuliah, Naomi pindah ke
Indonesia setelah mendapatkan pekerjaan di sebuah industri busana internasional
yang membuka cabang di Indonesia. Memang dari dulu Naomi ingin tinggal di
Indonesia dan menikah dengan warga lokal juga. Akhirnya, mimpi itu tercapai.
“Lalu,
kapan kalian akan menikah?” bisik Reese pada Martin.
“Jika
saja Kay tidak terikat peraturan yang menyatakan TIDAK BOLEH MENIKAH DALAM
WAKTU DUA TAHUN, sudah aku nikahi dia setelah lulus kuliah.” Martin menekankan
kalimatnya. “Jadi, aku baru bisa menikahinya sekitar dua tahun lagi.”
Janji
suci telah terucap, kini tiba saatnya pengantin wanita untuk melempar bunga.
Awalnya proses melempar bunga ini hanya boleh diikuti oleh sahabat dari
pengantin wanita. Tapi seiring berjalannya waktu, proses tersebut diubah dan
boleh diikuti semua lajang yang hadir dalam acara. Konon katanya, siapa pun
yang mendapatkan buket bunga tersebut akan mendapatkan jodoh dalam waktu dekat.
Dalam
hitungan ketiga, Naomi melemparkan buket bunganya dan berhasil di tangkap oleh…
Lucy. “Tahun depan, kita akan menjadi pengiring pengantin untuk Lucy!” sorak
Reese begitu bersemangat.
“Hei,
bagaimana bisa? Kekasih saja aku belum punya.” Lucy berusaha mengelak.
“Mungkin
ini karma karena dulu kau sering berganti pasangan,” timpal Kay.
“Apa?
Astaga, Kay? Aku bersumpah kau tidak akan menikah sebelum aku menikah terlebih
dulu.” Lucy yang kesal pergi untuk mengambil minum sedangkan yang lain tertawa.
Jujur
saja, Kay merindukan momen seperti ini. Di saat canda dan tawa itu semakin
meriah, perlahan pandangannya mulai terlihat kabur. Kepalanya terasa berat,
sulit bernapas seakan-akan oksigen di sekelilingnya hilang entah ke mana. Ada
rasa mual yang membuat tubuhnya semakin tak berdaya, cairan hangat terasa
mengalir dari hidungnya. Dalam pandangan buram, Kay melihat Martin dan
teman-temannya datang menghampiri. Ketika kesadarannya hilang, Kay tidak
mengingat apa pun lagi.
Masih
lengkap dengan pakaian formal, mereka semua menunggu dengan perasan tak karuan
di depan ruang ICU. Lucy merutuki diri, gadis itu merasa Kay sampai seperti ini
karena ucapannya, padahal ada hal lain yang membuat Kay terbaring di ruang ICU.
“Bagaimana
keadaan Kay?” Martin yang dilanda kegelisahan, melangkah menghampiri ayah Kay
dan Audney. Ya, Reese menghubungi keluarga Kay saat mereka membawa Kay ke rumah
sakit dan Martin langsung memesan tiket pesawat ke Jakarta hari itu juga. Ayah
Kay dan Audney baru tiba keesokan harinya, mengingat jarak antara Jakarta dan
New York memakan waktu kurang lebih 20 jam.
Hampir
setengah hari mereka menunggu tapi dokter tak kunjung memberi tahu bagaimana
kondisi Kay. Mereka hanya melihat dokter yang menangani Kay serta beberapa
perawat yang bolak-balik masuk ke ruang ICU untuk memeriksa keadaan Kay.
Reese
yang sedari tadi diam tengah berpikir. Ada kejanggalan di balik semua ini.
Penasaran, gadis itu menghampiri Martin. “Martin, ada sesuatu yang ingin kau
sampaikan?” Melihat raut wajah Martin yang berubah, Reese jadi semakin yakin
ada sesuatu yang disembunyikan oleh laki-laki itu.
Martin
membuang napas kasar, laki-laki itu harus menceritakan apa yang sebenarnya
terjadi. “Kay di diagnosa menderita kanker darah tiga tahun lalu. Kondisinya
semakin parah setiap hari dan dia pernah mengalami koma satu tahun yang lalu.”
“Kenapa
kau tidak segera memberitahu kami?”
Tamparan
keras mendarat sempurna di pipi Martin saat laki-laki itu hendak menjawab. Hal
ini membuat Naomi dan Lucy bergegas menghampiri mereka. “Kau anggap apa kami?
Kami yang lebih dulu mengenal Kay, dan kau menyembunyikan semuanya dari kami?
Apa maksudmu?” Tak memberi kesempatan untuk Martin menjawab, Reese
menghadiahkan pukulan keras di dada laki-laki itu.
“Reese,
hentikan!” Lucy memeluk gadis itu untuk menghentikan aksi Reese yang sudah
keterlaluan. “Biarkan Martin menjawab,” lanjutnya.
“Kay
yang memintaku untuk tidak menceritakannya pada kalian. Bukan hanya kalian, Kay
juga melarangku untuk menceritakannya pada keluarganya sendiri.”
Semua
diam terpaku. Kay, mengalami banyak penderitaan di masa mudanya kini juga harus
kembali menerima kenyataan pahit di saat kehidupannya sudah jauh lebih baik. Martin
mengambil sesuatu dari balik kemejanya, sebuah surat. “Kay sempat menulis ini
untuk kalian, mungkin inilah waktu yang tepat untuk memberikannya.” Lucy mengambil
surat itu dan membacanya bersama Naomi, sedangkan Reese sedang berusaha untuk
menerima kenyataan. Suratnya tertulis :
Dear my besties,
Kesedihan dirasakan saat
harus kehilangan salah satu orang yang dicintai. Sayangnya, semua itu tak bisa
dihentikan akibat takdir yang telah berbicara. Meski telah melakukan apa pun
dan bertahan sekuat tenaga, perpisahan tetap saja tak bisa dielakkan lagi.
Semua orang tak akan kuat jika menentang suratan takdir yang telah di tulis.
Saat itu semua terjadi,
tampaknya jalan yang dilalui telah tertutup. Hanya bintang yang menjadi
petunjuk. Semua kenangan dan kebersamaan tak akan pernah bisa dilupakan begitu
saja. Takdir juga yang mempertemukan. Bertahan adalah satu-satunya cara untuk
membuat diri ini lebih kuat. Yakin dan percaya jika semuanya akan indah pada
waktunya.
Jujur saja, kehilangan
adalah hal yang pahit. Suatu hari nanti, pertemuan pasti akan terjadi lagi
meski belum tahu kapan. Untuk saat ini, menyatukan perasaan adalah hal yang
bisa dilakukan. Di akhir nanti, semua akan indah.
Terima kasih sudah mau
menjadi teman. Terima kasih sudah bersama-sama menolongku merambat dinding dari
lubang tak berujung, merangkak ke atas hingga aku bisa kembali melihat matahari
bersama kalian. Aku mencintai kalian, teramat sangat.
XOXO,
Kaylee Mackenzie
Tangis
tak terelakkan, Lucy langsung memeluk Reese yang masih tidak bisa menerima
kenyataan dengan apa yang terjadi. Dokter keluar dari ruang ICU, membuat mereka
semua berdiri, seakan siap mendengarkan apa pun yang akan terjadi. Mereka
berusaha tegar meski air mata mengalir saat dokter menggeleng kepala pelan,
tanda bahwa mereka tidak akan pernah bisa bertemu Kay lagi.
“Ayah!”
teriak Audney saat melihat sang ayah jatuh terduduk, berlinang air mata. Martin
dan yang lain datang menghampiri, memeluk lelaki baya yang telah kehilangan dua
wanita yang dicintainya, memberikan kekuatan untuk menerima kenyataan. Pilu,
batinnya terluka, merasa gagal bahwa dia tidak bisa menjaga dua wanita terhebat
dalam hidupnya. Sang ayah memeluk Audney dengan sangat erat, mereka akan hidup
dengan baik. Sang ayah berjanji, akan menjaga Audney dengan baik.
Di
balik saku celana, Martin menyembunyikan dua buah cincin yang selalu dibawa
kemana pun dia pergi. Cincin yang nantinya akan dia gunakan untuk melamar Kay.
Setetes air mata jatuh menimpa cincin itu. Bagaimana pun, Martin akan menyimpan
cincin itu. Cincin yang tersimpan banyak sekali cerita dan pengorbanan dari
gadis yang dia cintai.
Selamat jalan, Love.
Aku mencintaimu, selalu…
Komentar
Posting Komentar