Wimbledon, 13 Desember 2019
Dering alarm menggema memenuhi ruangan mungil dengan nuansa merah muda dan putih. Gadis itu terbangun dari mimpi indahnya, mematikan alarm dan bersiap untuk bekerja. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi sedangkan gadis itu baru bisa absen kerja saat waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Ini dikarenakan jarak antara rumah dan toko tempat dia bekerja memakan waktu tiga puluh menit menggunakan trem, ditambah sepuluh menit berjalan kaki dari rumah menuju halte pemberhentian trem terdekat.
Keluar dari kamar dengan kemeja putih dan celana bahan hitam, gadis itu bergegas menghabiskan sarapannya yang sudah disiapkan oleh sang ibu. Sang ayah dan adiknya sudah lebih dulu menghabiskan sarapan mereka.
Bersama sang ayah dan sang adik, Nancy berpamitan pada sang ibu dan berjalan kaki bersama kedua laki-lakinya menuju pemberhentian trem dekat rumah. Adiknya pergi ke sekolah, sedangkan Nancy dan sang ayah pergi bekerja. Hampir sebagian besar penduduk di Wimbledon–atau mungkin di seluruh Inggris–lebih menyukai berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum. Mungkin karena pajak kendaraan pribadi di sana cukup mahal. Di tambah dengan biaya parkir yang membuat mereka berpikir dua kali untuk menggunakan kendaraan pribadi.
“Sepertinya aku akan pulang telat karena ada banyak hal yang harus aku urus bersama yang lain,” ucap Nancy saat sedang menunggu tremnya datang.
“Selalu hubungi Ayah kapan pun jika kau ada waktu.” Nancy tersenyum, ayahnya memang sedikit posesif pada gadis berusia 23 tahun itu.
Tremnya sudah datang, Nancy mencium pipi sang ayah dan memeluknya sebelum masuk ke dalam trem. Sebenarnya, Nancy baru mulai bekerja. Dirinya mulai masuk di hari kedua bulan Desember. Ada toko baru yang menjual pernak-pernik khas Jepang. Kalian paham dengan maksudnya toko baru, ‘kan? Toko tempat Nancy bekerja sekarang benar-benar baru. Sampai-sampai gadis itu mendapat tugas untuk mendekor tokonya saat Grand Opening nanti.
“Nancy, tolong angkat box itu dan pindahkan ke gudang ya!” pinta Sam, atasan Nancy di tempat kerjanya yang baru.
Nancy menggeram kesal, apakah atasannya itu tidak tahu kalau dirinya sedang sibuk? Dirinya sudah mendapat tugas untuk mendekor, dan jangan lupakan dengan tugas untuk membuat flyer beserta poster. Sekarang dirinya disuruh untuk mengangkat box. Hei! Karyawannya tak hanya satu orang! Ada enam orang lagi yang tugasnya tidak sebanyak dirinya. Menyebalkan!
“Nancy!”
Gadis itu meniup poni. “Iya, sebentar!” Sedikit kesal, Nancy tetap mengambil beberapa box yang berbaris rapi di luar untuk di simpan di gudang. Selesai memindahkan box-box tadi, Sam mengajak mereka semua untuk makan di luar. Ada satu tempat makan langganan yang rasa masakannya dijamin enak dan tidak menguras kantong. Sam berkata, “Jika sudah resmi di buka, kalian tidak akan bisa makan di luar seperti ini lagi. Yang boleh makan di luar hanya aku dan leader kalian saja.”
Nancy keluar dari toko jam empat sore, mungkin dia akan tiba di rumah sekitar jam lima atau jam enam sore. Gadis itu mengecek ponselnya, tidak ada satu pun pesan atau panggilan tak terjawab dari sang ayah. Aneh, ayahnya terbiasa akan menghubungi Nancy atau mengirim pesan pada putrinya itu jika mereka pulang bersama atau tidak. Ayahnya selalu memberi kabar terlebih dahulu agar Nancy tidak menunggu.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan sekeliling apakah ada sang ayah atau tidak. Hasilnya nihil, batang hidungnya pun tak terlihat. Bahkan di tempat duduk biasa ayahnya menunggu pun kosong. Perasaan Nancy mulai tidak enak. Jika ada jam tambahan, ayahnya pasti akan memberi tahu.
“Ibu, aku pulang!” Nancy meletakkan payung kecilnya di belakang pintu dan menyimpan sepatunya di dalam lemari. Ruang tamu tampak sepi, biasanya tidak pernah seperti ini.
“Nancy?” Ibunya keluar dari kamar, tampak lelah tergurat di wajahnya yang sudah tua.
“Di mana yang lain?” Gadis itu melepas tasnya dan melemparkannya begitu saja ke atas sofa.
“Ayahmu sakit, Nak.”
“Apa?” Tak pernah mendengar ayahnya sakit, Nancy buru-buru masuk ke kamar ayah dan ibunya. Di sana, ia melihat sosok yang tampak kuat di matanya tengah berbaring lemah tak berdaya di atas ranjang. Raganya tampak begitu ringkih.
“Ayahmu sempat pingsan di tempat kerja, tadi siang ada seorang teman yang mengantar ayahmu pulang.”
Pekerjaan Nancy masih cukup banyak, hanya saja gadis itu tak berkutik dari tempat duduknya sekarang. Gadis itu ingin memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja. Berkali-kali Nancy mengamati deru napas ayahnya yang mulai tak teratur, lalu perlahan kembali normal. Nancy baru saja mendapatkan pekerjaan, ayahnya juga baru bekerja dua minggu sebagai sopir pribadi. Mereka sudah merencanakan perjalanan ke London tahun depan untuk liburan.
Nancy menggenggam tangan ayahnya dengan begitu erat, sesekali menciumnya. Tangannya tidak terlalu hangat, hampir mendekati dingin. Naik-turun, kadang hangat kadang dingin. “Ayah, berjanjilah padaku. Kau akan melihatku menikah, kau akan melihat Daniel menikah. Dan kau akan menemani ibu hingga akhir. Berjanjilah, Ayah.” Nancy juga tidak tahu kenapa dia mengatakan hal demikian, kalimat itu terucap begitu saja dari bibirnya yang mungil.
24 Desember 2019
Kalut, lelah, stres, semuanya berkumpul jadi satu. Hari ini adalah hari di mana toko tempat Nancy bekerja dibuka. Akan ada potongan harga hingga tujuh puluh persen, sudah pasti akan banyak pembeli yang mengantre. Tak hanya itu, dia dan beberapa teman yang lain ditunjuk untuk mempersiapkan tarian dengan jingle toko mereka dan sudah pasti Nancy yang ditunjuk sebagai ketuanya. Tapi, ada hal penting yang mengganggu pikiran Nancy. Sudah seminggu ayahnya sakit. Ini akan menjadi hal yang tidak biasa jika ayahmu tidak pernah sakit, jikalau sakit pun pasti esok harinya kembali normal. Pasti ada yang tidak beres dengan kondisi kesehatan ayahnya. Wajar memang, usia ayahnya sudah hampir menginjak kepala enam.
“Ayo, Nancy! Acara sudah mau dimulai.”
“Iya, aku akan menyusul.”
Nancy meminta tolong pada salah seorang karyawan untuk membantu menyalakan musik yang berada di ponselnya. Acara pun dibuka dengan penampilan Nancy dan teman-teman yang menarikan jingle toko mereka. Dilanjut dengan beberapa pidato dari Sam, selaku Sales Manager dan Mrs. Katerina selaku direktur utama. Oh, jangan lupakan acara potong kue yang entah kenapa kuenya datang terlambat.
Banyaknya pembeli yang berdatangan membuat Nancy tak sadar bahwa waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Sam mengajak semua timnya berkumpul di depan untuk berfoto, lengkap dengan seragam yang di dominasi dengan warna putih dan warna biru kehijauan beserta celemek. Mereka pulang pukul sembilan malam, tapi Sam mentraktir semua timnya McDonald’s yang letaknya tak jauh dari toko.
Ponsel Nancy berdering, gadis itu menyingkir sebentar untuk mengangkat telepon. Senyumnya memudar saat berbicara di telepon. Gadis itu pamit untuk pulang lebih awal, dia juga meminta maaf tidak sempat bersenang-senang dengan timnya.
Lindsey–sahabat Nancy–telah menunggu gadis itu di luar gedung. Mereka berdua menggunakan taksi menuju salah satu rumah sakit umum. Nancy dapat kabar bahwa ayahnya masuk rumah sakit karena mengalami sesak napas mendadak. Di sana sudah ada ibu dan adiknya tengah menunggu sang ayah yang terbaring lemah dengan infus di tangan.
Lima menit kemudian, seorang laki-laki muda masuk ke dalam ruangan dan menyerahkan hasil ronsen sang ayah. Dijelaskan bahwa sang ayah mengalami paru-paru basah, dokter menyarankan untuk segera dirujuk ke Rumah Sakit Parkside untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Nancy dilema, dari mana gadis itu mendapatkan uang untuk mengurus pengobatan ayahnya? Sedangkan Nancy belum menerima upah pertama dari tempatnya bekerja. Dengan niat dan yakin, Nancy menyetujui saran dari dokter. Dokter itu pun segera mengurus surat rujukan ke rumah sakit Parkside atas nama ayahnya.
Nancy membiarkan ibu dan adiknya pulang ke rumah, gadis itu sudah memberi tahu Sam bahwa besok dia minta libur untuk mengurus kepindahan ayahnya ke Parkside dan Sam mengizinkan. Belum sempat mengganti seragam, Nancy keluar menuju minimarket terdekat untuk membeli roti dan susu. Sudah jam sebelas malam tapi belum ada tanda-tanda ayahnya akan segera di pindahkan. Nancy duduk di sebelah sang ayah, sewaktu-waktu jika ayahnya ingin minum. Perawat menyarankan bahwa sang ayah hanya boleh minum sedikit saja karena paru-parunya sudah terendam, hal inilah yang menyebabkan ayahnya sering mengalami sesak nafas.
Nancy mencoba tersenyum saat sang ayah menatapnya. Nancy tahu, ayahnya pasti sedih melihat putrinya yang manja harus mengalami hal seperti ini. Entahlah, Nancy sendiri juga tidak yakin apakah dirinya akan kuat atau tidak.
Ruang kosong di Parkside tersedia dini hari, sekitar pukul satu pagi. Dibantu dengan tiga orang perawat, ayahnya dipindahkan ke mobil ambulans dan segera menuju ke Parkside. Sesampainya di sana, sang ayah harus menunggu lagi karena ada beberapa berkas yang harus di urus. Ayahnya beristirahat di ruang gawat darurat sampai berkas-berkas selesai diurus. Nancy bahkan tidak tidur, menunggu sampai nama ayahnya dipanggil untuk dipindahkan ke kamar kosong. Dan yah, ayahnya baru bisa dipindahkan setelah jam lima pagi. Agak sedikit kesal memang tapi Nancy bisa apa, toh sebagian biaya ditanggung jaminan kesehatan yang telah diurus kakaknya.
Nancy baru bisa pulang setelah kakaknya sampai. Dia bergantian jaga dengan sang kakak, terlebih gadis itu harus kerja besoknya. Tidak hanya itu, di saat kondisi matanya yang lelah, Nancy harus naik-turun lift untuk mengurus administrasi ayahnya. Jika kondisi rumah sakit tidak ramai, rasanya Nancy ingin tidur di ruang tunggu. Tepat pukul tiga sore, kakaknya baru sampai bersama dengan ibu dan adiknya. Nancy berpamitan pada sang ayah, dia berjanji akan datang esok hari.
“Ayah, cepat sembuh. Agar kita bisa makan makanan lezat lagi,” ucap Nancy dengan nada tertahan pilu.
28 Desember 2019
Tak ada yang bisa Nancy nikmati untuk menyantap makan siang. Pilihan terakhir jatuh pada spagheti carbonara. Nancy duduk di bangku paling belakang, sendirian. Teleponnya berdering di suapan ketiga. Nama adiknya menari-nari di layar, dadanya berdegup kencang saat mengangkat telepon tersebut. Tanpa menghabiskan makan siangnya, Nancy berlari kembali ke area toko, menemui Sam yang tengah mengobrol di layanan informasi.
“Sam, bolehkah aku izin pulang?”
“Kenapa?”
“Ayahku meninggal, Sam.” Rasanya tak tertahan lagi, tapi tak setetes pun air mata jatuh dari mata Nancy.
“Ya Tuhan! Ayo aku antar!”
Dengan motor andalannya, Sam mengantar Nancy ke Parkside. Mereka diam seribu bahasa, Nancy tak bisa memikirkan apa pun. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana bisa ayahnya pergi saat dia tidak berada di sisi sang ayah? Bagaimana bisa ayahnya pergi tanpa bertemu dengannya untuk yang terakhir kali? Bagaimana bisa....
Nancy langsung berlari–diikuti Sam di belakang–saat mereka tiba di rumah sakit. Adiknya telah mengirim pesan di mana kamar sang ayah karena sang ayah sempat pindah ke ruangan khusus untuk pasien penderita paru-paru. Nancy menekan tombol lift tak sabar, dia ingin segera bertemu dengan ayahnya. Melewati tiga lantai, Nancy melangkah cepat saat lift terbuka. Jiwanya seakan melayang saat melihat jenazah sang ayah hendak dimandikan. Diikuti dengan ibu dan adiknya di belakang. Sang kakak berdiri di depan pintu, menatap adiknya nanar.
Nancy tak sanggup, tubuhnya ambruk, air mata tak henti mengalir dari kedua matanya. Beberapa saudara menghampiri gadis itu untuk menenangkan, bahkan sang kakak yang akan mengurus jenazah ayahnya mengelus lembut kepala sang adik. Nancy menjerit dalam tangis, ayahnya sudah berjanji akan berada di pernikahannya kelak. Ayahnya berjanji bahwa mereka akan makan enak setelah beliau sembuh. Tapi janji hanya sekadar janji, yang kini hilang bersama jiwa sang ayah.
31 Maret 2020
Dunia sedang tidak stabil, bumi sedang tidak baik-baik saja. Ini dikarenakan munculnya virus baru, yaitu corona. Perekonomian dunia sedang kacau, banyak perusahaan yang memberhentikan beberapa karyawan karena pandemi ini. Beberapa negara memberlakukan sistem lockdown, di mana semua warganya wajib berada di rumah dan mengisolasi diri hingga waktu yang tidak ditentukan. Lembaga pendidikan menyuruh anak didiknya untuk mengikuti kelas online.
Gadis itu duduk di ayunan halaman belakang rumahnya dengan sebuah novel terpangku manis di atas paha. Tidak lupa dengan masker hijau tiga lapis yang menutupi hidung dan mulutnya. Meskipun tidak berada di jarak jauh, siapa pun tetap wajib pakai masker jika sedang berada di luar.
Nancy menjadi salah satu korban yang terkena dampak dari virus corona ini. Dia di PHK. Bukan hanya dia, seluruh staf tempat dia kerja mengalami pemutusan kerja. Menyisakan dua personil, satu team leader dan satu sales manager. Padahal baru seminggu yang lalu Nancy dan teman-temannya menandatangani surat kontrak mereka yang kedua.
Setelah ayahnya meninggal, tanggung jawab keluarga dipanggul oleh Nancy. Gadis itu yang mencari nafkah sekarang untuk menghidupi ibu dan adiknya. Dengan kondisi dirinya di PHK, bagaimana cara dia menghidupi keluarganya? Di tengah pandemi corona seperti ini, mencari pekerjaan tiga kali lipat lebih sulit dari biasanya.
Tidak hanya itu, kakaknya terlilit beberapa hutang yang mengatasnamakan dirinya. Nancy tidak bisa menjalani hidup seperti dulu lagi, dia harus memikirkan semuanya dengan sangat hati-hati. Apalagi mengenai masalah finansial. Dia tidak bisa sering berkumpul dengan teman-temannya lagi, dia tidak bisa membeli novel yang dia incar lagi, dia tidak bisa jalan-jalan bersama teman-temannya lagi. Sekarang yang Nancy pikirkan adalah bagaimana caranya agar keluarganya bisa bertahan hidup setelah mengandalkan sisa gaji dua minggunya? Dia tidak ada pemasukan lagi.
“Ayah, apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan tak tahu apakah aku bisa bertahan hidup atau tidak?” ujar Nancy sambil menatap foto keluarga di ponselnya, diiringi dengan setetes air mata yang jatuh. Tak ada lagi sosok ayah yang akan memberinya saran ketika dia bercerita, tak akan ada lagi sosok ayah yang menanyakan keberadaannya ketika jam sembilan malam Nancy belum pulang, dan tak akan ada lagi sosok ayah yang menjemputnya di halte trem dan bersama-sama pulang ke rumah.
“Your life will never be the same and people who love you will continue to look at you with that look and ask you how you’re doing.” (thegracefuljourney.com)
“Kenapa?”
“Ayahku meninggal, Sam.” Rasanya tak tertahan lagi, tapi tak setetes pun air mata jatuh dari mata Nancy.
“Ya Tuhan! Ayo aku antar!”
Dengan motor andalannya, Sam mengantar Nancy ke Parkside. Mereka diam seribu bahasa, Nancy tak bisa memikirkan apa pun. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana bisa ayahnya pergi saat dia tidak berada di sisi sang ayah? Bagaimana bisa ayahnya pergi tanpa bertemu dengannya untuk yang terakhir kali? Bagaimana bisa....
Nancy langsung berlari–diikuti Sam di belakang–saat mereka tiba di rumah sakit. Adiknya telah mengirim pesan di mana kamar sang ayah karena sang ayah sempat pindah ke ruangan khusus untuk pasien penderita paru-paru. Nancy menekan tombol lift tak sabar, dia ingin segera bertemu dengan ayahnya. Melewati tiga lantai, Nancy melangkah cepat saat lift terbuka. Jiwanya seakan melayang saat melihat jenazah sang ayah hendak dimandikan. Diikuti dengan ibu dan adiknya di belakang. Sang kakak berdiri di depan pintu, menatap adiknya nanar.
Nancy tak sanggup, tubuhnya ambruk, air mata tak henti mengalir dari kedua matanya. Beberapa saudara menghampiri gadis itu untuk menenangkan, bahkan sang kakak yang akan mengurus jenazah ayahnya mengelus lembut kepala sang adik. Nancy menjerit dalam tangis, ayahnya sudah berjanji akan berada di pernikahannya kelak. Ayahnya berjanji bahwa mereka akan makan enak setelah beliau sembuh. Tapi janji hanya sekadar janji, yang kini hilang bersama jiwa sang ayah.
31 Maret 2020
Dunia sedang tidak stabil, bumi sedang tidak baik-baik saja. Ini dikarenakan munculnya virus baru, yaitu corona. Perekonomian dunia sedang kacau, banyak perusahaan yang memberhentikan beberapa karyawan karena pandemi ini. Beberapa negara memberlakukan sistem lockdown, di mana semua warganya wajib berada di rumah dan mengisolasi diri hingga waktu yang tidak ditentukan. Lembaga pendidikan menyuruh anak didiknya untuk mengikuti kelas online.
Gadis itu duduk di ayunan halaman belakang rumahnya dengan sebuah novel terpangku manis di atas paha. Tidak lupa dengan masker hijau tiga lapis yang menutupi hidung dan mulutnya. Meskipun tidak berada di jarak jauh, siapa pun tetap wajib pakai masker jika sedang berada di luar.
Nancy menjadi salah satu korban yang terkena dampak dari virus corona ini. Dia di PHK. Bukan hanya dia, seluruh staf tempat dia kerja mengalami pemutusan kerja. Menyisakan dua personil, satu team leader dan satu sales manager. Padahal baru seminggu yang lalu Nancy dan teman-temannya menandatangani surat kontrak mereka yang kedua.
Setelah ayahnya meninggal, tanggung jawab keluarga dipanggul oleh Nancy. Gadis itu yang mencari nafkah sekarang untuk menghidupi ibu dan adiknya. Dengan kondisi dirinya di PHK, bagaimana cara dia menghidupi keluarganya? Di tengah pandemi corona seperti ini, mencari pekerjaan tiga kali lipat lebih sulit dari biasanya.
Tidak hanya itu, kakaknya terlilit beberapa hutang yang mengatasnamakan dirinya. Nancy tidak bisa menjalani hidup seperti dulu lagi, dia harus memikirkan semuanya dengan sangat hati-hati. Apalagi mengenai masalah finansial. Dia tidak bisa sering berkumpul dengan teman-temannya lagi, dia tidak bisa membeli novel yang dia incar lagi, dia tidak bisa jalan-jalan bersama teman-temannya lagi. Sekarang yang Nancy pikirkan adalah bagaimana caranya agar keluarganya bisa bertahan hidup setelah mengandalkan sisa gaji dua minggunya? Dia tidak ada pemasukan lagi.
“Ayah, apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan tak tahu apakah aku bisa bertahan hidup atau tidak?” ujar Nancy sambil menatap foto keluarga di ponselnya, diiringi dengan setetes air mata yang jatuh. Tak ada lagi sosok ayah yang akan memberinya saran ketika dia bercerita, tak akan ada lagi sosok ayah yang menanyakan keberadaannya ketika jam sembilan malam Nancy belum pulang, dan tak akan ada lagi sosok ayah yang menjemputnya di halte trem dan bersama-sama pulang ke rumah.
“Your life will never be the same and people who love you will continue to look at you with that look and ask you how you’re doing.” (thegracefuljourney.com)
Komentar
Posting Komentar